RAMADHAN DAN TURUNNYA AL-QUR-AN
Oleh
Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar
http://almanhaj.or.id/content/3956/slash/0/ramadhan-dan-turunnya-al-quran/
PENDAHULUAN
Allah تبارك وتعالى telah berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur-an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil)...” [al-Baqarah/2: 185]
Al-Qur-an diturunkan pada bulan Ramadhan, di mana petunjuk dan berbagai pengaruh serta nilainya telah terealisasi di muka bumi ini. Dan pada bulan ini pula al-Qur-an diturunkan sebagai ilmu dan pengetahuan, sebagai penunjuk jalan (kehidupan) sekaligus sebagai norma untuk berpijak. Sebelumnya, kekufuran telah merebak luas dan menghantui manusia. Tetapi ketika al-Qur-an datang, kekufuran itu terhenti, kegelapan pun terusir dan ruh kembali bersemangat untuk memasuki kehidupan. Sebab, risalah Islam akan dapat mempengaruhi dimensi ruh dalam kehidupan serta menjalankan fungsinya dalam merubah wajahnya yang gelap menjadi wajah yang terang bersinar, yang membawa kecintaan, kejernihan, hidayah dan bimbingan.
Al-Qur-an al-Karim memberikan petunjuk kepada manusia secara keseluruhan dan ia menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa secara khusus.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
“Itulah Kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya, sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.” [al-Baqarah/2: 2]
Selain itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللَّهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُبِينٌ﴿١٥﴾يَهْدِي بِهِ اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلَامِ وَيُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Sesungguhnya telah datang kepada kalian cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan. Dengan Kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan Kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari keadaan gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” [al-Maa-idah/5: 15-16]
Cahaya ini memiliki tiga manfaat, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh ayat di atas:
1. Dengannya, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan petunjuk kepada orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya menuju jalan keselamatan.
2. Mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju alam yang terang benderang.
3. Memberikan petunjuk kepada mereka menuju ke jalan yang lurus (Shiraath Mustaqiim).
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuliakan kaum muslimin dengan kemuliaan yang luar biasa agungnya. Dia memuliakan mereka dengan kemuliaan yang paling tinggi pada bulan Ramadhan sejak empat belas abad yang lalu, ketika al-Qur-an al-‘Azhim diturunkan dan Allah menjadikannya sebagai petunjuk sekaligus cahaya penerang.
Dengan demikian, orang-orang terdahulu telah membawa amanat dan memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Mereka berusaha menyampaikannya ke seluruh belahan bumi yang berhasil dipijak oleh kakinya, sehingga negeri ini dipenuhi oleh cahaya Allah Ta’ala. Negeri dan semua hamba-Nya tunduk kepada-Nya Yang Mahaesa lagi Mahaperkasa.
Sudah sepatutnya kita sebagai kaum muslimin sekarang ini mengambil posisi sebagai pengawas dan pemantau terhadap al-Qur-an. Kita harus dapat memberikan haknya yang telah diwajibkan oleh Allah Ta’ala atas diri kita, serta memelihara nikmat yang agung ini sebagai nikmat hidayah yang abadi, yang bersifat umum dalam segala hal, baik nikmat kemuliaan, kepemimpinan, dan kehormatan.
Itulah nikmat yang di dalamnya terdapat kesembuhan yang sebenarnya bagi dada manusia dari penyakit syubhat dan syahwat.[1]
Dengannya akan tercapai pengetahuan yang shahih terhadap berbagai kebenaran serta dapat membedakan pula yang buruk dari yang baik, dan yang jujur dari yang munafik. Dengan nikmat ini pula terwujud kesatuan yang sejati lagi sempurna bagi seluruh umat. Berulangnya bulan ini pada setiap tahunnya disebutkan oleh al-Qur-an dengan undang-undang persatuan yang abadi, sebuah Kitab yang selalu dibaca. Barangsiapa yang berpegang padanya maka ia akan selamat, dan barangsiapa yang mengikutinya maka ia akan mendapatkan petunjuknya, dan barangsiapa yang menyimpang darinya maka dia akan tersesat. Barangsiapa yang berhukum dengannya maka dia akan bersikap adil. Dan barangsiapa yang berbicara dengannya maka dia akan berbicara dengan benar, ia adalah tali Allah yang kuat dan jalan-Nya yang lurus serta petunjuk-Nya yang abadi bagi manusia secara keseluruhan.
MEMPERBAHARUI HUBUNGAN SEORANG MUSLIM DENGAN KITABULLAH DI BULAN RAMADHAN
Al-Qur-an al-Karim turun pada bulan Ramadhan. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mempelajarinya bersama Jibril q pada bulan Ramadhan, dengan mendengar, mentadabburi, dan membacanya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperhatikan nasihat-nasihat dan pelajarannya serta membuka lebar fikiran beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk makna dan dalil-dalil yang terkandung di dalamnya.
Orang berpuasa yang mengikuti contoh dari Nabinya Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan selalu menyatukan dalam puasanya, antara bulan Ramadhan dan al-Qur-an, karena Ramadhan adalah bulan al-Qur-an:
"خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ..."
“Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari al-Qur-an dan mengajarkannya.”
Turunnya al-Qur-an pada bulan Ramadhan merupakan sugesti yang sangat kuat bagi umat ini untuk banyak membaca dan mengkajinya di bulan tersebut, karena pada hakikat dan realitasnya bulan Ramadhan merupakan bulan al-Qur-an.
Betapa indahnya halaqah-halaqah kajian al-Qur-an yang diada-kan di masjid-masjid sepanjang bulan tersebut. Kaum muslimin pun berbondong-bondong mendatanginya untuk mencari hidayah, hikmah, dan cahaya di pelataran rumah-rumah Allah Ta’ala. Faktor penyebabnya karena al-Qur-an memiliki rasa yang khusus pada bulan Ramadhan, karena ia akan mengingatkan kenangan saat ia turun dan hari-hari pengkajiannya serta waktu-waktu perhatian kaum Salaf terhadapnya. Benarlah apa yang disabdakan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
"خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ..."
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari al-Qur-an dan mengajarkannya…”[2]
Jika Ramadhan datang, orang-orang Salaf menyibukkan diri dengan mempelajari dan mendalami al-Qur-an lebih intensif dari bulan-bulan lainnya. Sampai-sampai mereka meninggalkan sementara halaqah-halaqah ilmu.
Dari Imam Malik rahimahullah, bahwasanya beliau jika Ramadhan datang, halaqah-halaqah ilmu, kajian dan pemberian fatwa dihentikan. Dan beliau mengatakan, “Ini bulan Ramadhan sehingga kita harus berkonsentrasi dengannya.”
Pada bulan Ramadhan dari setiap tahun, hubungan seorang muslim dan Kitabullah (al-Qur-an) selalu mengalami pembaharuan, sehingga Ramadhan akan disambut dengan bacaan, pendalaman, pemahaman, perhatian, pembenaran dan pengamalan al-Qur-an.
Pada hari pembaharuan hubungan kaum muslimin dengan Kitabullah serta pengamalan mereka terhadapnya di segenap aspek kehidupan mereka, dengannya mereka memerangi musuh dan beribadah kepada sang Khaliq. Semua hati yang ada di sekeliling al-Qur-an senantiasa tertuju kepadanya. Dan padanya ilmu pengetahuan berpijak serta darinya pula semua hukum disarikan. Pada hari di mana semuanya itu terealiasasi bagi kaum muslimin, akan terwujud pula bagi mereka kemuliaan, kehormatan, serta kepemimpinan, sebagaimana yang pernah diperoleh orang-orang shalih sebelum mereka.
Pada saat membacanya, al-Qur-an memiliki beberapa adab yang harus dipelihara dan dipegang teguh oleh setiap muslim. Yang terpenting di antaranya adalah:
1. Membaca al-Qur-an dengan niat tulus ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, dimana Dia Ta’ala telah berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
“Padahal mereka tidak dperintah melainkan agar beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus...” [al-Bayyinah/98: 5]
2. Membaca dengan menghadirkan hati sambil mencermati dan memahami, khusyu’, takut dan merasa seakan-akan Allah berbicara langsung kepadanya di dalam al-Qur-an ini.
3. Membaca al-Qur-an dalam keadaan suci (berwudhu’ terlebih dahulu), karena yang demikian itu termasuk pengagungan terhadap firman Allah Azza wa Jalla.
4. Tidak membaca al-Qur-an di tempat-tempat yang kotor atau di tempat-tempat di mana orang-orang yang berkumpul di sana tidak mau mendengar bacaan al-Qur-an, karena bacaan al-Qur-an di tempat-tempat ini sebagai bentuk penghinaan.
5. Membaca dengan lagam dan suara yang indah. Tetapi tidak boleh mengganggu orang lain dalam bacaan ini, seperti ada orang yang sedang tidur di dekatnya atau mengerjakan shalat atau di sampingnya terdapat halaqah ilmu dan lain sebagainya.
Dan masih banyak lagi adab-adab yang harus diperhatikan di setiap saat oleh pembaca al-Qur-an.
MEMBACA DAN MENDALAMI AL-QUR-AN SERTA PENGARUHNYA DALAM MENGHIDUPKAN MANHAJ[3] YANG LURUS DI DALAM DIRI KAUM MUSLIMIN
Setiap kali hilal bulan Ramadhan melintas, maka akan muncul kerinduan umat Islam kepada hari-harinya yang penuh dengan hembusan angin keberkahan, yang merupakan petunjuk dalam pancarannya. Dan itulah kekuatan dari kejernihan pokok dan dasarnya, al-Qur-an al-Karim, yang telah menghamparkan petunjuk, penerang bagi umat ini di sepanjang zaman, dan telah membuatkan dasar-dasar manhaj abadi bagi kehidupan manusia yang baru. Manhaj yang seimbang dan sejalan. Manhaj yang memberi kemudahan pada batas-batas kemampuan. Manhaj yang menyerukan kepada kemanusiaan yang bermartabat tinggi. Manhaj yang memiliki nilai yang mulia, yang di dalamnya berbagai perbedaan inderawi dan geografis melebur untuk bertemu dalam satu ‘aqidah serta satu sistem yang ideal.
Satu manhaj yang menyamakan antara seluruh manusia serta menjadikan keutamaan di antara mereka dalam ketakwaan:
نَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian…” [al-Hujuraat/49: 13]
Manhaj yang mendorong mereka untuk menghidupkan bulan puasa dalam kesatuan keislaman yang hakiki, yang mengatasi berbagai rintangan dan penyimpangan serta melintasi semua batasan dan kebangsaan. Serta menyatukan mereka dalam kesatuan tujuan, menggiring umat menuju kepada realisasi tujuan yang selalu diharapkan keberadaannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” [Adz-Dzaariyaat/51: 56]
Dengan pandangan sekilas kepada para Salafush Shalih[4] , kita akan mendapati salah satu dari mereka, dengan membawa beberapa surat al-Qur-an sanggup memperbaiki apa yang telah dirusak oleh bangsa Persia dan Romawi. Dan sanggup membuka hati (penduduk negeri) sebelum membebaskan negerinya.
Benar, inilah kewajiban orang-orang mukmin yang membaca al-Qur-an dengan sebenar-benarnya sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah Azza wa Jalla.
Demi Allah, seandainya hati kaum muslimin itu telah bersih dari segala macam penyakit serta menjernihkan hal-hal yang membuatnya keruh, niscaya mereka akan mengetahui nilai dan kewajiban mereka terhadap al-Qur-an, satu-satunya penyelamat sekaligus satu-satunya pelindung dari segala macam pemikiran yang merusak yang akan menghantam kejahatannya di zaman sekarang ini. Dan akal dari kebanyakan manusia yang menyimpang karena kekosongannya dari wahyu Allah Ta’ala yang membentengi dan melindunginya dari mereka, maka Dia wahyukan di dalamnya petunjuk yang mencukupi, memadai, menyelamatkan, sekaligus melindungi dari segala macam godaan syaitan manusia yang merusak akal dan gangguan jin yang menyerang fitrah.
Di dalamnya juga terkandung penjelasan yang sangat jelas mengenai petunjuk dan pembeda, yang membedakan antara yang haq dan yang bathil. Oleh karena itu, Allah Ta’ala memperjelas hikmah dalam pengkhususan bulan Ramadhan dengan syari’at puasa melalui firman-Nya:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur-an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil)...” [al-Baqarah/2: 185]
Bacaan dan kajian terhadap al-Qur-an memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap jiwa untuk melakukan perbaikan dan penyucian, yang berkonsekuensi pada penerimaan seorang hamba dan pendekatannya kepada Rabb-nya Azza wa Jalla. Oleh karena itu, orang-orang shalih sepanjang perjalanan zaman selalu memperbanyak bacaan al-Qur-an pada bulan Ramadhan dan menyambutnya dengan sepenuh hati.[5]
Al-Qur-an adalah kitab umat Islam yang abadi, yang menyelamatkan mereka dari kegelapan menuju sinar yang terang benderang. Lalu menumbuhkan keadaan ini serta menggantikan rasa takut mereka dengan rasa aman. Dia memberikan tempat bagi mereka di muka bumi ini, serta dia memberikan sendi-sendinya yang dengan itu mereka menjadi umat yang sebelumnya tidak pernah diperhitungkan. Di mana tanpa sendi-sendi tersebut, umat Islam tidak akan menjadi umat yang baik dan tidak akan menda-patkan tempat di muka bumi ini serta tidak juga disebut di langit. Maka wujud dari rasa syukur kepada Allah Ta’ala atas nikmat al-Qur-an ini adalah minimal dengan memenuhi seruan Allah un-tuk berpuasa pada bulan yang di dalamnya diturunkan al-Qur-an.
KESUNGGUHAN RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM PADA BULAN RAMADHAN TIDAK SEPERTI KESUNGGUHAN BELIAU SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM PADA BULAN-BULAN LAINNYA
Jika waktu atau tempat itu mulia maka akan mulia juga amal shalih yang dilakukan pada keduanya. Ketaatan di Makkah misalnya, lebih utama daripada di tempat lainnya. Amal kebajikan pada hari Jum’at lebih baik daripada hari lainnya. Yang termasuk seperti hal itu adalah bulan Ramadhan, karena keutamaannya, maka semua perbuatan baik yang dilakukan di dalamnya menjadi utama pula, misalnya shadaqah, qiyamul lail, membaca al-Qur-an, i’tikaf, dan umrah. Semua amal perbuatan di bulan Ramadhan tersebut lebih baik daripada dikerjakan di bulan-bulan lainnya.
Hal tersebut telah ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling dermawan dalam melakukan kebaikan, dan yang paling dermawan adalah apa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan pada bulan Ramadhan ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dijumpai oleh Jibril. Dan Jibril Alaihissallam menemui beliau setiap malam pada bulan Ramadhan sampai bulan itu berakhir. Kepadanya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan. Oleh karena itu, jika Jibril Alaihissallam menemui beliau, maka beliau adalah orang yang paling pemurah dalam kebaikan dibandingkan dengan angin yang diutus…” [6]
Pada bulan Ramadhan, jiwa menjadi terangkat dari kesalahan dan kehinaan serta selamat dari ketertarikan pada materi dan keinginan naluri menuju kepada kejernihan yang membersihkan hati seseorang dengan bershadaqah, berderma, dan memberi.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling mulia lagi paling dermawan, di mana jika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi sesuatu maka beliau tidak pernah takut susah dan tidak juga takut miskin. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menyambut kedatangan bulan Ramadhan dengan limpahan kedermawanan, sehingga beliau adalah orang yang paling murah dengan perbuatan baik daripada angin yang dikirim, yang berhembus dengan kealamiahannya, dia giring awan di setiap lembah, serta dia tebarkan kesejukan pada setiap tempat.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berusaha dengan sungguh-sungguh pada bulan Ramadhan, lebih gigih daripada bulan-bulan lainnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersungguh-sungguh dalam shalat, bacaan al-Qur-an, dzikir, dan shadaqah. Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkonsentrasi penuh pada bulan ini dan melepaskan diri dari berbagai kesibukan yang pada hakikatnya merupakan ibadah, tetapi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan amal yang utama untuk mengerjakan apa yang lebih utama darinya.
Dan para Salafush Shalih selalu mengikuti Nabi mereka Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal itu, di mana mereka mengkhususkan bulan ini dengan meningkatkan perhatian serta berkonsentrasi penuh pada amal-amal shalih. Oleh karena itu, kita harus mengikuti mereka serta menempuh jalan mereka, mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menggiring kita dalam rombongan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ma’shum dan golongan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang baik lagi suci:
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdo’a, ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari-pada kami...’” [Al-Hasyr/59: 10]
Di antara hal paling utama yang harus dikerjakan oleh orang yang berpuasa pada siang harinya adalah berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mendekatkan diri kepada-Nya, dengan mengucapkan tasbih, tahmid, takbir, dan tahlil. Itulah amal-amal shalih yang manfaatnya tidak akan pernah berakhir dan pahalanya pun akan terus mengalir.
Oleh karena itu, jika orang yang berpuasa telah memanfaatkan waktu siangnya untuk berpuasa dan membaca al-Qur-an, dan memanfaatkan waktu malamnya untuk qiyamul lail dengan bersujud dan ruku’, serta menjaga anggota tubuhnya dari hal-hal yang dilarang, maka akan terwujud kebaikan dan keberuntungan di dunia dan di akhirat, sebagaimana firman Allah:
إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي ظِلَالٍ وَعُيُونٍ﴿٤١﴾وَفَوَاكِهَ مِمَّا يَشْتَهُونَ﴿٤٢﴾كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ﴿٤٣﴾إِنَّا كَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam naungan (yang teduh) dan (di sekitar) mata-mata air. Dan (mendapat) buah-buahan dari (macam-macam) yang mereka inginkan. (Dikatakan kepada mereka:) ‘Makan dan minumlah kamu dengan enak karena apa yang telah kamu kerjakan.' Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.’” [al-Mursalaat/77: 41-44]
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “...Di antara petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan adalah memperbanyak berbagai macam ibadah… Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling dermawan, dan kedermawanan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling tampak adalah pada bulan Ramadhan. Hal itu tampak di mana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak bershadaqah, berbuat baik, membaca al-Qur-an, shalat, dzikir, dan i’tikaf. Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan pada bulan Ramadhan ini ibadah-ibadah yang tidak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam khususkan pada bulan-bulan lainnya. Sehingga beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang menyambung waktu malam dan siangnya untuk beribadah…” [7]
[Disalin dari buku Meraih Puasa Sempurna, Diterjemahkan dari kitab Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab, karya Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerjemah Abdul Ghoffar EM, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Ash-Shaum karya Syaikh ‘Abdurrahman ad-Dausari (hal. 52-53).
[2]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari. Shahih al-Bukhari (VI/236).
[3]. Manhaj berarti jalan yang jelas dan mudah sebagaimana yang terdapat dalam Tafsiir Ibni Katsir tentang perkataan Sahabat Ibnu ‘Abbas ketika menafsirkan ayat (لِكُّلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا...) “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang...” (al-Maa-idah: 48). Lihat Tafsiir Ibni Katsir (II/75-76), cet. Maktabah Darus Salam, th. 1413 H.-red.
[4]. Para Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in.-red.
[5]. Ash-Shaum (hal. 73), karya ad-Dausari.
[6]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/24) dan Shahiih Muslim (VII/ 73))
[7]. Zaadul Ma’aad (II/32).
Senin, 29 Juni 2015
Minggu, 21 Juni 2015
RENUNGAN DI BULAN RAMADHAN
RENUNGAN DI BULAN RAMADHAN
http://almanhaj.or.id/content/4168/slash/0/renungan-di-bulan-ramadhan/
Oleh
Ustadz Firanda Ibnu Abidin As-Soronji
Merupakan nikmat yang besar kepada para hambaNya, yaitu Allah menjadikan waktu-waktu spesial yang penuh dengan berkah, agar para hambaNya memanfaatkan kesempatan emas tersebut dan berlomba-lomba meraih berkah sebanyak-banyaknya.
Berjumpa dengan bulan Ramadhan merupakan kenikmatan yang sangat besar. Maka selayaknya seorang muslim benar-benar merasakan dan menjiwai nikmat tersebut. Betapa banyak orang yang terhalang dari nikmat ini, baik karena ajal telah menjemput, atau karena ketidakmampuan beribadah sebagaimana mestinya, karena sakit atau yang lainnya, ataupun karena mereka sesat dan masa bodoh terhadap bulan yang mulia ini. Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim bersyukur kepada Allah atas karuniaNya ini. Berdoa kepadaNya agar dianugerahi kesungguhan serta semangat dalam mengisi bulan mulia ini, yaitu dengan ibadah dan dzikir kepadaNya.
Yang menyedihkan, banyak orang tidak mengerti kemuliaan bulan suci ini. Tidak menjadikan bulan suci ini sebagai lahan untuk memanen pahala dari Allah dengan memperbanyak beribadah, bersedekah dan membaca Al Qur`an. Namun bulan yang agung ini, mereka jadikan musim menyediakan dan menyantap aneka ragam makanan dan minuman, menyibukkan kaum ibu terus berkutat dengan dapur. Sebagian yang lain ada yang memanfaatkan bulan mulia ini hanya dengan bergadang dan ngobrol hingga pagi, kemudian pada siang harinya dipenuhi dengan mimpi-mimpi. Bahkan ada yang terlambat untuk shalat berjamaah di masjid. Ataupun tatkala shalat di masjid, ia berangan-angan agar sang imam segera salam. Sebagian yang lain ada yang mengenal bulan suci ini sebagai musim untuk mengeruk duit sebanyak-banyaknya. Lowongan-lowongan pekerjaan ditelusurinya sebagai upaya memperoleh kesempatan mengeruk dunia [1]. Sebagian yang lain sangat giat berjual beli, stand bye di pasar dan meninggalkan masjid. Kalaupun shalat di masjid, mereka shalat dalam keadaan terburu-buru. Wallahul musta’an…[2]
.
Barangsiapa yang mengetahui keagungan bulan suci ini, maka dia akan benar-benar rindu untuk bertemu dengannya. Para salaf sangat merasakan keagungan bulan suci ini, sehingga kehadirannya selalu dinanti-nanti oleh mereka. Bahkan jauh sebelumnya, mereka telah mempersiapkan perjumpaan itu.
Mu’alla bin Al Fadhl berkata,”Mereka (para salaf) berdoa kepada Allah selama enam bulan agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan … .”[3]
Pujilah Allah dan bersyukurlah kepadaNya karena telah mempertemukan kita dengan bulan Ramadhan dalam keadaan tentram dan damai. Renungkanlah, bagaimanakah keadaan saudara-saudara kita di Palestina, Checnya, Afghanistan, Iraq dan negeri-negeri yang lainnya? Bagaimanakah keadaan mereka dalam menyambut bulan suci ini? Musibah demi musibah, derita demi derita menimpa mereka. Dengan derita dan tangisanlah mereka menyambut bulan suci ini.
Dengan beraneka ragam makanan kita berbuka puasa. Lantas, dengan apakah saudara-saudara kita di Somalia berbuka puasa? Mereka terus menghadapi bencana busung lapar.[4]
RAMADHAN ADALAH KESEMPATAN EMAS UNTUK MENJADI ORANG YANG BERTAKWA
Allah berfirman :
يَأيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian untuk berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa. [Al Baqarah : 183]
.
Syaikh Utsaimin rahimahullah berkata,”لَعَلَّ adalah untuk ta`lil (menjelaskan sebab). Hal ini menjelaskan hikmah (tujuan) diwajibkannya puasa. Yaitu, agar kalian (menjadi orang-orang yang) bertakwa kepada Allah. Inilah hikmah (yang utama) dari ibadah puasa. Adapun hikmah-hikmah puasa yang lainnya, seperti kemaslahatan jasmani atau kemaslahatan sosial, maka hanyalah mengikutinya (bukan hikmah yang utama, Pen).” [5]
Betapa banyak manusia pada zaman ini, jika dikatakan kepada mereka “bertakwalah engkau kepada Allah”, maka merah padamlah wajahnya karena marah dan tertipu dengan dirinya sendiri. Dia menganggap dirinya telah bertakwa kepada Allah, sehingga merasa tersinggung jika dikatakan padanya untuk bertakwa kepada Allah.
Ibnu Mas’ud berkata, ”Cukuplah sesorang itu berdosa jika dikatakan kepadanya “bertakwalah kepada Allah”, lantas ia berkata ‘Urus dirimu sendiri, orang seperti kamu mau menasihatiku?’ .”
Pada suatu hari Khalifah Harun Ar Rasyid keluar naik kendaraan untanya yang mewah dan penuh hiasan, lalu seorang Yahudi berkata kepadanya: “Wahai, Amirul Mukminin. Bertakwalah engkau kepada Allah,” maka beliaupun turun dari kendaraannya dan sujud kepada Allah di atas tanah dengan penuh tawadhu` dan khusyu. Khalifah kemudian memerintahkan agar kebutuhan orang Yahudi tersebut dipenuhi.
Tatkala ditanyakan mengapa Khalifah memerintahkan demikian, beliau menjawab: “Tatkala saya mendengar perkataan orang Yahudi tersebut, saya teringat firman Allah
وَإِذَا قِيْلَ لَهُ اتَّقِ اللهَ أَخَذَتْهٌ الْعِزَّةُ بِالإِثْمِ فَحَسْبُهُ جَهَنَّمُ وَلَبِئْسَ الْمِهَادُ
(Dan apabila dikatakan kepadanya: “Bertakwalah kepada Allah”, bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. Dan sesungguhnya Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya”. -Al Baqarah ayat 206-), maka saya khawatir, saya adalah orang yang disebut Allah tersebut”.[6]
Oleh karena itu, puasa merupakan kesempatan emas untuk melatih diri kita untuk bertakwa kepada Allah.
Sebagian Salaf menyatakan, puasa yang paling ringan adalah meninggalkan makan dan minum. Jabir berkata,”Jika engkau berpuasa, maka hendaknya pendengaranmu, penglihatanmu, lisanmu juga ikut berpuasa… Dan tatkala berpuasa, janganlah engkau menjadikan keadaanmu seperti keadaanmu tatkala tidak berpuasa.” [7] Abul ‘Aliah mengatakan, orang yang berpuasa senantiasa berada dalam ibadah, walaupun dia dalam keadaan tidur di atas tempat tidurnya, (yakni) selama tidak ghibah (menggunjing) orang lain.[8]
Syaikh As Sudais berkata,”Dan apakah mereka telah merealisasikan dan menerapkan apa yang menjadi tujuan disyariatkannya puasa (yaitu untuk bertakwa kepada Allah)? Ataukah masih banyak di antara mereka yang tidak mengetahui hikmah disyari’atkannya puasa dan melupakan buah manis dari ketakwaan serta jalan-jalan ketakwaan yang bercahaya, sehingga mencukupkan puasa hanya dengan menahan diri dari makanan dan minuman serta pembatal-pembatal puasa yang zhahir?” [9]
Beliau juga berkata,”Sebagian orang tidak mengetahui hakikat puasa. Mereka membatasi makna puasa, yaitu hanya menahan diri dari makan dan minum. Maka engkau lihat sebagian mereka, puasanya tidak bisa mencegah (kejahatan) lisannya, sehingga terjerumus dalam ghibah, namimah dan dusta. Demikian juga, mereka membiarkan telinga dan mata mereka berkeliaran, sehingga terjatuh dalam dosa dan kemaksiatan. Imam Bukhari telah meriwayatkan sebuah hadits dalam Shahih-nya, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِيْ أَيْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya [10] serta berbuat kebodohan [11], maka Allah tidak butuh kepada puasanya dari meninggalkan makan dan minumnya.[12]
Ibnu Rajab berkata,”Barangsiapa yang pada bulan Ramadhan ini tidak beruntung, maka kapan lagi dia bisa beruntung? Barangsiapa yang pada bulan suci ini tidak bisa mendekatkan dirinya kepada Allah, maka sungguh dia sangat merugi.” [13]
Jadilah kita seperti kupu-kupu yang menyenangkan dan indah jika dipandang, serta bermanfaat bagi perkawinan di antara tanaman, padahal sebelumnya adalah seekor ulat yang merusak dedaunan dan merupakan hama tanaman. Namun setelah berpuasa beberapa saat dalam kepompongnya, berubahlah ulat tersebut menjadi kupu-kupu yang indah.
PUASA MERUPAKAN KESEMPATAN UNTUK MEMBIASAKAN DIRI MENTADABBUR AL QUR`AN
Betapa banyak orang yang telah berpaling dari Al Qur`an dan meninggalkan membaca Al Qur`an. Atau tatkala membacanya, tanpa disertai dengan mentadabburi (perenungan) kandungan maknanya. Sehingga pada sebagian orang, Al Qur`an menjadi sesuatu yang terlupakan [14].
Ibnu Rajab berkata,”Allah mencela orang-orang yang membaca Al Qur`an tanpa memahami (mentadaburi) maknanya. Allah berfirman وَمِنْهُمْ أُمِّيُّوْنَ لاَيَعْلَمُوْنَ الْكِتَابَ إِلاَّ أَمَانِيَّ (Dan di antara mereka ada yang buta huruf tidak mengetahui Al Kitab (At Taurat), kecuali hanya dongengan belaka.” –Al Baqarah ayat 78-). Yaitu dalam membacanya tanpa memahami maknanya. Tujuan diturunkannya Al Qur`an adalah untuk difahami maknanya dan untuk diamalkan, bukan hanya sekedar untuk dibaca.” [15]
Tatkala tiba bulan Ramadhan Az Zuhri berkata: “Ramadhan itu adalah membaca Al Qur`an dan memberi makan (fakir miskin)”.
Ibnu Abdilhakim berkata,”Jika tiba bulan Ramadhan, Imam Malik menghindar dari membacakan hadits dan bertukar pikiran dengan ahli ilmu. Beliau berkonsentrasi membaca Al Qur`an dari mushaf”.
Abdurrazak berkata,”Jika masuk bulan Ramadhan, Ats Tsauri meninggalkan seluruh ibadah dan memfokuskan pada membaca Al Qur`an.”
Ibnu Rajab berkata,”Pada bulan Ramadhan, para salaf berkonsentrasi membaca Al Qur`an. Di antara mereka ada yang mengkhatamkan Al Qur`an setiap minggu, ada yang setiap tiga hari, ada juga yang menamatkan dalam waktu dua malam. Bahkan ada di antara mereka pada saat sepuluh malam yang terakhir, menamatkan Al Qur`an setiap malam.
Adapun hadits yang menjelaskan larangan mengkhatamkan Al Qur`an kurang dari tiga hari, maka maksudnya, jika dilaksanakan terus-menerus. Adapun menamatkan Al Qur`an pada waktu-waktu (tertentu) yang mulia, seperti pada bulan Ramadhan, khususnya pada malam-malam yang diharapkan, yaitu Lailatul Qadar, juga di tempat-tempat yang mulia; maka yang demikian itu disunnahkan agar memperbanyak membaca Al Qur`an untuk memanfaatkan kesempatan berada di tempat dan waktu yang mulia. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan yang lainnya, dan merupakan hal yang diamalkan oleh selain mereka.” [16]
Di antara adab-adab tatkala membaca Al Qur`an.[17]
1. Hendaknya membaca dengan tartil, memperhatikan hukum-hukum tajwid disertai dengan mentadabburi ayat-ayat yang dibacanya. Jika ayat yang dibaca berkaitan dengan kekurangan atau kesalahannya, maka hendaknya dia beristighfar. Jika melewati ayat-ayat yang berkaitan dengan rahmat Allah, maka hendaknya dia meminta kepada Allah rahmat Allah tersebut. Jika melewati ayat-ayat tentang adzab, maka hendaknya dia takut dan berlindung kepada Allah dari adzab tersebut. Oleh karena itu, jika membaca Al Qur`an dengan cepat dan kurang memperhatikan hukum-hukum tajwid, maka sulit untuk mempraktekan tadabbur Al Qur`an. Bahkan membaca Al Qur`an dengan cepat tanpa aturan, terkadang hukumnya bisa menjadi haram, jika sampai menimbulkan perubahan huruf-huruf (tidak keluar sesuai dengan makhrajnya), karena menyebabkan terjadinya perubahan atas Al Qur`an. Adapun jika membaca dengan cepat, namun tetap memperhatikan hukum-hukum tajwid, maka tidak mengapa, karena sebagian orang mudah bagi lisannya membaca Al Qur`an (dan sebagian orang bisa mentadabburi Al Qur`an walaupun dibaca dengan cepat).
2. Hendaknya tidak memotong pembacaan Al Qur`an hanya karena ingin ngobrol dengan teman duduk di sampingnya. Sebagian orang, jika sedang membaca Al Qur`an kemudian di sampingnya ada seorang sahabatnya, maka diapun sering memotong bacaannya untuk ngobrol dengan temannya tersebut. Perbuatan seperti ini semestinya tidak dilakukan, karena termasuk dalam kategori berpaling dari Al Qur`an tanpa adanya kebutuhan.
3. Tidak membaca Al Qur`an dengan suara keras sehingga mengganggu orang yang berada di sekitarnya yang sedang membaca Al Qur`an juga, atau sedang shalat, atau sedang tidur. Nabi telah melarang perihal ini.
Dari Abu Sa’id Al Khudri, beliau berkata: “Nabi i’tikaf di masjid, lalu beliau mendengar orang-orang membaca Al Qur`an dengan suara yang keras, dan Nabi sedang berada di dalam tenda i’tikafnya. Beliaupun membuka sitar (kain penutup) tendanya, kemudian berkata: “Kalian semuanya sedang bermunajat dengan Rabb-nya, maka janganlah sebagian kalian mengganggu sebagian yang lain. Janganlah sebagian kalian mengangkat suaranya tatkala membaca Al Qur`an” atau Beliau berkata: “Tatkala (membaca Al Qur`an) dalam shalat”. [18]
RAMADHAN ADALAH KESEMPATAN UNTUK INSTROPEKSI DIRI
Umar Al Faruq berkata :
حَاسِبُوا أنْفُسَكُم قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُا وَزِنُوْهَا قَبْلَ أَنْ تُوْزَنُوْا وَ تَزَيَّنُوا لِلعَرْضِ الأَكْبَر
Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang. Dan berhiaslah (beramal shalihlah) untuk persiapan hari ditampakkannya amalan hamba.[19]
Allah berfirman يَوْمَئِذٍ لاَ تَخْفَى مِنْكُمْ خَافِيَةٌ (Pada hari itu kalian dihadapkan (kepada Rabb kalian), tiada sesuatupun dari keadaan kalian yang tersembunyi (bagi Allah) -Al Haqqah : 18-).
Benarlah yang diucapkan oleh Al Faruq, sesungguhnya muhasabah diri di dunia ini, jauh lebih ringan daripada hisab Allah pada hari akhir nanti, (yaitu) tatkala rambut anak-anak menjadi putih. Yang menghisab adalah Allah.
Dan yang menjadi bukti otentik adalah kitab yang sifatnya : ... tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya?; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Rabb-mu tidak menganiaya seorang juapun. [Al Kahfi : 49].
Al Hasan berkata,”Seorang mukmin adalah pengendali dirinya. (Hendaknya) dia menghisab dirinya karena Allah. Yang menyebabkan suatu kaum hisabnya ringan di akhirat kelak ialah, karena mereka telah menghisab jiwa mereka di dunia. Dan yang menyebabkan beratnya hisab pada suatu kaum pada hari kiamat kelak ialah, karena mereka mengambil perkara ini tanpa bermuhasabah (di dunia).”[20]
Hakikat muhasabah ialah, menghitung dan membandingkan antara kebaikan dan keburukan. Sehingga, dengan perbandingan ini diketahui mana dari keduanya yang terbanyak.[21]
Ibnul Qayyim menjelaskan,”Namun, muhasabah ini akan terasa sulit bagi orang yang tidak memiliki tiga perkara, yaitu cahaya hikmah, berprasangka buruk kepada diri sendiri dan (kemampuan) membedakan antara nikmat dan fitnah (istidraj).”
Pertama : Cahaya hikmah, yaitu ilmu; yang dengannya seorang hamba bisa membedakan antara kebenaran dan kebatilan, petunjuk dan kesesatan, manfaat dan mudharat, yang sempurna dan yang kurang, kebaikan dan keburukan. Dengan demikian, ia bisa mengetahui tingkatan amalan yang ringan dan yang berat, yang diterima dan yang ditolak. Semakin terang cahaya hikmah ini pada seseorang, maka ia akan semakin tepat dalam perhitungannya (muhasabah).
Kedua : Adapun berprasangka buruk kepada diri sendiri sangat dibutuhkan (dalam muhasabah). Karena berbaik sangka kepada jiwa, dapat menghambat kepada sempurnanya pemeriksaan jiwa; sehingga bisa jadi, ia akan memandang kejelekan-kejelekannya menjadi kebaikan, dan (sebaliknya) memandang aibnya sebagai suatu kesempurnaan. Dan tidaklah berprasangka buruk kepada dirinya, kecuali orang yang mengenal dirinya. Barangsiapa yang berbaik sangka kepada jiwanya, maka ia adalah orang yang paling bodoh tentang dirinya sendiri.
Ketiga : Adapun (kemampuan) membedakan antara nikmat dan fitnah, yaitu untuk membedakan antara kenikmatan yang Allah anugerahkan kepadanya -berupa kebaikanNya dan kasih-sayangNya, yang dengannya ia bisa meraih kebahagiaan abadi- dengan kenikmatan yang merupakan istidraj dari Allah. Betapa banyak orang yang terfitnah dengan diberi kenikmatan (dibiarkan tenggelam dalam kenikmatan, sehingga semakin jauh tersesat dari jalan Allah, Pen), sedangkan ia tidak menyadari hal itu.
Mereka terfitnah dengan pujian orang-orang bodoh, tertipu dengan kebutuhannya yang selalu terpenuhi dan aibnya yang selalu ditutup oleh Allah. Kebanyakan manusia menjadikan tiga perkara (pujian manusia, terpenuhinya kebutuhan, dan aib yang selalu tertutup) ini sebagai tanda kebahagiaan dan keberhasilan. Sampai disitulah rupanya ilmu mereka ......
Ibnul Qayyim melanjutkan : .... semua kekuatan, baik yang nampak maupun yang batin, jika diiringi dengan pelaksanaan perintah Allah dan apa yang diridhai Allah, maka hal itu sebagai karunia Allah. Jika tidak demikian, maka kekuatan tersebut merupakan bencana.
Setiap keadaan yang dimanfaatkan untuk menolong agama Allah dan berdakwah di jalanNya, maka hal itu merupakan karunia Allah. Jika tidak, maka hanyalah merupakan bencana.
Setiap harta yang disertai dengan berinfaq di jalan Allah, bukan untuk mengharapkan ganjaran dan terima kasih dari manusia, maka ia merupakan karunia Allah. Jika tidak demikian, maka harta itu hanyalah bumerang baginya ....
Dan setiap sikap manusia yang menerima dirinya dan pengagunggan serta kecintaan mereka padanya, jika disertai dengan rasa tunduk, rendah dan hina di hadapan Allah, demikian juga disertai pengenalannya terhadap aib dirinya dan kekurangan amalannya, dan usahanya menasihati manusia, maka hal ini adalah karunia Allah. Jika tidak demikian, maka hanyalah bencana.
Oleh karena itu, hendaknya seorang hamba mengamati point yang sangat penting dan berbahaya ini, agar bisa membedakan antara karunia dan bencana, anugerah dan bumerang baginya, karena betapa banyak ahli ibadah dan berakhlak mulia yang salah paham dan rancu dalam memahami pembahasan ini.[22]
Ketahuilah, termasuk kesempurnaan muhasabah, yaitu engkau mengetahui, bahwa setiap celaanmu kepada saudaramu yang berbuat maksiat atau aib, maka akan kembali kepadamu.
Diriwayatkan dari Rasulullah bahwa beliau bersabda :
مَنْ عَيَّرَ أَخَاهُ بِذَنْبٍ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَعْمَلَهُ
Barangsiapa yang mencela saudaranya karena dosanya (kemaksiatannya), maka dia tidak akan mati hingga dia melakukan kemaksiatan tersebut. [23]
Dalam menafsirkan hadits ini, Imam Ahmad berkata : “Yaitu (mencelanya karena) dosa (maksiat), yang ia telah bertaubat darinya”. [24]
Ibnul Qayyim berkata: Dan juga pada celaan yang dibarengi rasa gembira si pencela dengan jatuhnya orang yang dicela dalam kesalahan. Imam At Tirmidzi meriwayatkan juga -secara marfu’- bahwasanya Rasulullah bersabda,’Janganlah engkau menampakkan kegembiraan atas bencana yang menimpa saudaramu, sehingga Allah merahmati saudaramu dan mendatangkan bencana bagimu’.”[25]
Dan mungkin juga, maksud Nabi bahwa dosa celaanmu terhadap saudaramu lebih besar dari dosa saudaramu itu dan lebih parah dari maksiat yang dilakukannya itu. Karena celaanmu itu menunjukan tazkyiatun nafs (memuji diri sendiri) dan mengklaim, bahwa engkau selalu di atas ketaatan dan telah berlepas diri dari dosa, dan saudaramulah yang membawa dosa tersebut.
Maka bisa jadi, penyesalan saudaramu karena dosanya tersebut dan akibat yang timbul setelah itu, berupa rasa tunduk dan rendah serta penghinaan terhadap jiwanya, dan terlepasnya dia dari penyakit pengakuan sucinya diri, rasa sombong dan ujub, serta berdirinya dia di hadapan Allah dalam keadaan menunduk dengan hati yang pasrah, lebih bermanfaat baginya dan lebih baik dibandingkan dengan pengakuanmu bahwa engkau selalu berada di atas ketaatan kepada Allah dan engkau menganggap diri banyak melakukan ketaatan kepada Allah. Bahkan engkau merasa telah memberi sumbangsih kepada Allah dan kepada makhluk-makhlukNya dengan ketaatanmu tersebut. Sungguh saudaramu -yang telah melakukan kemaksiatan- (lebih) dekat kepada rahmat Allah. Dan betapa jauh orang yang ‘ujub dan merasa memberi sumbangsih dengan amal ketaatannya karena kemurkaan Allah.
Dosa yang mengantarkan pelakunya merasa hina di hadapan Allah lebih disukai Allah, daripada amal ketaatan yang mengantarkan pelakunya merasa ‘ujub. Sesungguhnya jika engkau tertidur pada malam hari (tidak melaksanakan shalat malam), kemudian pada pagi hari engkau menyesal, lebih baik dari pada jika engkau shalat malam kemudian pada pagi hari engkau merasa ‘ujub kepada diri sendiri, karena sesungguhnya orang yang ‘ujub, amalnya tidak naik kepada Allah. Engkau tertawa, sembari mengakui (kesalahan dan kekuranganmu itu) lebih baik dari pada engkau menangis, namun engkau merasa ‘ujub.
Rintihan orang yang berdosa lebih disukai di sisi Allah dibanding suara dzikir orang yang bertasbih namun ‘ujub. Bisa jadi, dengan sebab dosa yang dilakukan oleh saudaramu, Allah memberikan obat kepadanya dan mencabut penyakit yang membunuh dirinya, padahal penyakit itu ada pada dirimu dan engkau tidak merasakannya.
Allah memiliki rahasia dan hikmah atas hamba-hambanya yang taat dan yang bermaksiat, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia. Para ulama dan orang-orang bijak tidak mengerti rahasia itu, kecuali hanya sekedar yang bisa diperkirakan dan ditangkap oleh panca indra manusia. Namun di balik itu, ada rahasia Allah yang tidak diketahui, bahkan oleh para malaikat pencatat amal.
Rasulullah telah bersabda :
إِذَا زَنَتْ أَمَةُ أَحَدِكُمْ فَلْيُقِمْ عَلَيْهَا الْحَدُّ وَلاَ يُثَرِّبْ
(Jika budak wanita milik salah seorang dari kalian berzina, maka tegakkanlah hukuman had baginya dan janganlah mencelanya)[26] karena sesungguhnya, penilaian adalah di sisi Allah dan hukum adalah milikNya. Dan tujuannya ialah menegakkan hukuman had pada budak wanita tersebut, bukan mencelanya.
Allah telah berkata tentang makhluk yang paling mengetahuiNya dan yang paling dekat denganNya (yaitu Rasulullah): “Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya engkau hampir-hampir condong sedikit kepada mereka (orang-orang kafir)”. (Al Isra` : 74). Nabi Yusuf telah berkata,”... Dan jika tidak Engkau hindarkan tipu daya mereka dariku, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” [Yusuf : 33].
Nabi paling sering bersumpah dengan berkata لاَ وَمُقَلِّبِ الْقُلُوْبِ (demi Dzat yang membolak-balikan hati manusia) [27]. Beliau bersabda,”Tidak satu hati manusia pun, melainkan ia berada di antara dua jari dari jari-jemari Allah. Jika Allah kehendaki, (maka) Allah akan memberi petunjuk kepadanya. Dan jika Allah kehendaki, maka Allah akan menyesatkannya,” [28] kemudian Beliau berdoa :
اللَّهُمَّ مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى دِيْنِكَ
Wahai Dzat yang membolak-balikan hati manusia, tetapkanlah hati kami di atas jalanMu. [29]
اللَّهُمَّ مُصَّرِّفَ الْقُلُوْبِ صَرِّفْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ
Wahai Dzat yang memaling-malingkan hati manusia, palingkanlah hati kami untuk taat kepadaMu.[30]
BERDOA KEPADA ALLAH AGAR IBADAH PUASA KITA DITERIMA
Ibnu Rajab berkata,”Para salaf, mereka berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menyempurnakan dan memperbaiki amalan mereka. Kemudian, setelah itu mereka sangat memperhatikan agar amalan mereka diterima; mereka takut jika amalannya tidak diterima. Mereka itulah orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut. (Al Mukminun : 60).
Diriwayatkan dari Ali, ia berkata: “Hendaklah kalian lebih memperhatikan agar amal kalian diterima (setelah beramal), dari pada perhatian kalian terhadap amalan kalian (tatkala sedang beramal). Apakah kalian tidak mendengar firman Allah إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللهُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ (Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa -Al Maidah : 27).
Dari Fadhalah dia berkata: “Saya mengetahui, bahwa Allah menerima amalan saya walaupun sekecil biji sawi lebih saya sukai, daripada dunia dan seisinya, karena Allah berfirman : Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa. (Al Maidah : 27)”.
Abu Darda berkata,”Saya mengetahui, bahwa Allah telah menerima dariku satu shalat saja lebih aku sukai dari pada bumi dan seluruh isinya, karena Allah berfirman : Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa. (Al Maidah : 27)”.[31]
Malik bin Dinar berkata,”Perasaan takut jikalau amalan tidak diterima, lebih berat daripada beramal.”
‘Atha` As Sulami berkata,”Waspadalah, jangan sampai amalanmu bukan karena Allah.”
Abdulaziz bin Abi Ruwwad berkata,”Aku mendapati mereka (para salaf) sangat bersungguh-sungguh tatkala beramal shalih. Namun jika mereka telah selesai beramal, mereka ditimpa kesedihan dan kekhawatiran apakah amalan mereka diterima atau tidak?”
Oleh karena itu, para salaf setelah enam bulan berdoa agar dipertemukan oleh Allah dengan Ramadhan. Mereka juga berdoa setelah Ramadhan selama enam bulan agar amalan mereka diterima.
Wuhaib bin Al Ward tatkala membaca firman Allah
وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيْمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَ إِسْمَاعِيْلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
(Dan tatkala Ibrahim meninggikan (membina) pondasi Baitullah bersama Isma’il (seraya berdoa): ”Wahai Rabb kami, terimalah dari kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahu -Al Baqarah ayat 127-, maka beliau (Wuhaib bin Al Ward)pun menangis, seraya berkata: “Wahai kekasih Ar Rahman. Engkau meninggikan rumah Ar Rahman, lalu engkau takut amalanmu itu tidak diterima oleh Ar Rahman”. [33]
Ibnul Qayyim menyatakan, perasaan puas (ridha)nya seseorang terhadap amal ketaatan yang telah ia kerjakan, merupakan indikasi bahwasanya ia tidak mengetahui terhadap keadaan dirinya. Dia tidak mengetahui hak-hak Alllah dan bagaimana semestinya beribadah kepada Allah. Ketidaktahuan terhadap kekurangan dirinya serta aib-aib yang terdapat dalam amal ketaatannya, dan ketidaktahuannya terhadap kebesaran Allah dan hak-hakNya, menjadikan dia berprasangka baik terhadap jiwanya yang penuh dengan kekurangan, sehingga akhirnya ia puas dengan amal ketaatannya. Hal ini juga menimbulkan rasa ‘ujub (takjub) dengan dirinya sendiri yang telah melaksanakan amal ketaatan, serta menimbulkan perasaan sombong dan penyakit-penyakit hati lainnya, yang (tentunya) lebih berbahaya dari pada dosa-dosa besar yang nampak, seperti zina, meminum minuman keras, dan lari dari medan pertempuran. Jika demikian, merasa puas terhadap amal ketaatan, merupakan kepandiran dan ketololan jiwa.
Jika kita perhatikan, ternyata orang-orang yang bertakwa dan ahli ibadah, mereka sangat memohon ampunan Allah, justru tatkala mereka telah selesai dari berbuat amal ketaatan. Hal ini, karena mereka mengakui kekurangan, tatkala mereka beramal. Dan mereka mengakui, bahwa amal ketaatan mereka tidak sesuai dengan kebesaran dan keagungan Allah. Seandainya bukan karena perintah Allah untuk beramal, maka mereka akan malu menghadap Allah dengan ibadah mereka yang penuh kekurangan; dan mereka tidak ridha menyerahkan ibadah yang penuh kekurangan tersebut kepada Allah. Namun mereka tetap beribadah menjalankan perintah Allah, walaupun penuh kekurangan.
Allah telah memerintahkan para jama’ah haji (pengunjung rumah Allah) untuk beristigfar setelah selesai dari manasik haji yang paling agung dan mulia, yaitu wukuf di Arafah. Allah berfirman, yang artinya : Maka apabila kalian telah beranjak dari Arafah berdzikirlah kepada Allah di Masy’aril Haram. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukanNya kepada kalian, dan sesungguhnya kalian sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian beranjaklah kalian dari tempat bertolak orang-orang banyak (yaitu Arafah), dan mohon ampunlah kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al Baqarah : 198-199).
Allah juga berfirman وَالْمُسْتَغْفِرِيْنََ بِالأَسْحَارِ (Dan yang memohon ampun pada waktu sahur. -Ali Imran ayat 17-). Berkata Hasan Al Bashri: “Mereka memanjangkan shalat malam hingga tiba waktu sahur (menjelang terbit fajar), lalu mereka duduk dan beristighfar kepada Allah”. Dan dalam hadits yang shahih disebutkan, jika Nabi telah salam dari shalat, Beliau n beristighfar tiga kali.[34]
Allah memerintah Nabi untuk beristighfar setelah selesai menyampaikan risalah kenabiannya -dan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menunaikannya dengan baik-, demikian juga setelah menyelesaikan ibadah haji serta menjelang wafat Beliau. Maka Allah berfirman di dalam surat yang turun terakhir kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu melihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Rabb-mu dan mohonlah ampun kepadaNya. Sesungguhnya Dia adalah Maha menerima taubat”. [An Nashr ayat 1-3].
Dengan turunnya surat ini, maka Umar dan Ibnu Abbas mengetahui, bahwa ini merupakan pemberitahuan Allah kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , sebagai tanda telah dekatnya ajal Rasulullah. Maka Allah memerintahkan Beliau untuk beristighfar setelah menunaikan tugas mengemban risalah Allah. Hal ini seakan-akan sebagai pemberitahuan, bahwa engkau (wahai Rasulullah) telah menunaikan kewajibanmu dan tidak ada lagi tugas yang lain, maka jadikanlah penutupnya adalah istighfar. Sebagaimana juga penutup shalat, haji, shalat malam. Juga setelah wudhu, Beliau berkata :
سُبْحَانَكَ اللهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ أَللهُمَّ اجْعَلْنِي مِنَ التَّوَّابِيْنَ و اجْعَلْنِي مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ .
Demikianlah keadaan orang-orang yang mengetahui apa yang semestinya bagi Allah dan sesuai dengan keagunganNya, dan mengerti tentang hak-hak ibadah dan persyaratannya.
Berkata sebagian orang bijak: “Kapan saja engkau ridha (merasa puas) dengan dirimu dan amalanmu bagi Allah, (maka) ketahuilah, sesungguhnya Allah tidak ridha dengan amalmu tersebut. Dan barangsiapa yang mengetahui bahwa pada dirinya merupakan tempat kesalahan, aib dan kejelekan, serta mengetahui bahwa amalannya penuh dengan penyakit dan kekurangan, maka bagaimana ia bisa merasa puas dengan amalannya? Bagaimana ia bisa ridha amalan tersebut bagi Allah?”
Sungguh indah perkataan Syaikh Abu Madin: “Barangsiapa yang merealisasikan ibadahnya, maka dia akan memandang amal perbuatannya dengan kacamata riya’. Dia memandang keadaannya dengan pengakuan belaka, dan memandang perkataannya dengan kedustaan belaka. Semakin besar apa yang engkau harapkan di hatimu, maka akan semakin kecil jiwamu di hadapanmu, dan semakin sedikit pula nilai pengorbanan yang telah engkau keluarkan demi meraih harapanmu yang besar. Semakin engkau mengakui hakikat rububiyah Allah dan hakikat ‘ubudiyah, serta semakin engkau mengenal Allah dan mengenal dirimu sendiri, maka akan semakin jelas bagimu, bahwa apa yang ada pada dirimu berupa amal ketaatan, tidaklah pantas untuk diberikan kepada Allah. Walaupun engkau datang dengan membawa amalanmu (yang beratnya seperti amalan seluruh) jin dan manusia, maka engkau akan tetap takut dihukum Allah (karena engkau takut tidak diterima, Pen). Sesungguhnya Allah menerima amalanmu karena kemurahan dan kemuliaan serta karuniaNya kepadamu. Dia memberi pahala dan ganjaran kepadamu, juga karena kemuliaan, kemurahan dan karuniaNya”. [36]
Syaikh Abdurrahman As Sudais berkata,”Ketahuilah saudara-saudaraku, sebagaimana kalian menyambut kedatangan bulan suci ini, kalian juga tidak lama kemudian akan berpisah dengannya. Apakah engkau tahu, wahai hamba Allah, apakah engkau akan bisa bertemu dengan akhir bulan ini? Ataukah engkau tidak akan menemuinya? Demi Allah, kita tidak tahu, sedangkan kita setiap hari menyalatkan puluhan jenazah. Dimanakah mereka yang dulu berpuasa bersama kita? Seorang yang bijak akan menjadikan ini semua untuk bermuhasabah dan meluruskan kepincangan, membuangnya dari jalan ketaatan sebelum ajal menjemputnya dengan tiba-tiba; sehingga saat itu tidak ada bermanfaat, kecuali amal shalih. Ikrarkanlah janji kepada Rabb kalian di tempat yang suci ini; dan pada bulan suci yang penuh barakah ini untuk bertaubat dan penyesalan, serta melepaskan diri dari kekangan kemaksiatan dan dosa. Bersungguh-sungguhlah untuk mendoakan kebaikan bagi diri kalian dan saudara-saudara kalian, kaum muslimin.” [37]
Washallahu ‘ala Nabiyina Muhammadin Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Maraji`:
1. Madarijus Salikin, Ibnul Qayyim, tahqiq Abdulaziz bin Nasir Al Julaiyil, Dar Ath Thaibah.
2. Wazhaif Ramadhan, Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim.
3. Ahaditsu As Siyam, Ahkamuhu Wa Adabuhu, Syaikh Abdullah Al Fauzan.
4. Tafsir Al Qur`an Al Karim, Syaikh ‘Utsaimin, Dar Ibnul Jauzi.
5. Ramadhan Fursah Lit Taghyir, Muhammad bin Abdillah Al Habda.
6. Kaukabah Al Khutab Al Munifah Min Mimbar Al Ka’bah Asy Syarifah, Syaikh Abdurrahman bin Abdulaziz As Sudais.
7. Fathul Bari, Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, Darus Salam, Riyadh.
8. Tuhfatul Ahwadzi, Al Mubarakfuri, Dar Ihya At Turots Al ‘Arabi.
9. Tafsir Ibnu Katsir.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun IX/1426/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Yang menyedihkan, ada di antara mereka yang mengatas namakan dunia yang mereka kejar tersebut dengan nama agama. Ada juga yang berdalih, bahwa apa yang mereka lakukan tersebut hukumnya boleh dan demi membantu orang lain. Ketahuilah saudaraku, carilah amalan yang terbaik dan bisa mendatangkan pahala sebanyak mungkin pada bulan suci ini. Umur kita terbatas. Renungkanlah!
[2]. Disadur dari perkataan Syaikh Abdullah Al Fauzan di dalam kitabnya, Ahaditsus Siyam, hlm. 14-15.
[3]. Wadzaif Ramadhan, hlm. 11. Adakah di antara kita yang senantiasa berdoa untuk berjumpa dengan bulan Ramadhan? Jangankan untuk berdoa selama enam bulan agar berjumpa dengan Ramadhan, bahkan mungkin masih banyak di antara kita yang tidak berdoa selama seminggu agar bersua dengan Ramadhan. Hal ini tidak lain, karena kita kurang mengagungkan nilai Ramadhan sebagaimana para salaf. Atau bahkan mungkin di antara kita ada yang tidak pernah berdoa sama sekali untuk berjumpa dengan Ramadhan?
[4]. Lihat khutbah Syaikh As Sudais dalam Kaukabah Al Khutab Al Munifah, hlm. 230-231.
[5]. Tafsir Al Qur`an Al Karim, tafsir surat Al Baqarah (2/317).
[6]. Lihat risalah Ramadhan Fursah Lit Taghyir, hlm. 13-14.
[7]. Wadzaif Ramadhan, hlm. 21.
[8]. Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam Mushannaf-nya. Ibnu Rajab berkata,”Jika dia meniatkan makan dan minumnya untuk menguatkan tubuh guna melaksanakan shalat malam dan puasa, maka dia akan diberi pahala (oleh Allah) karena niatnya tersebut (makan dan minumnya dinilai ibadah oleh Allah, Pen). Demikian juga, jika dia meniatkan dengan tidurnya pada malam hari ataupun siang hari agar kuat untuk beramal (shalih), maka tidurnya itu termasuk ibadah.” (Wadzaif Ramadhan, hlm. 24).
[9]. Kaukabah Al Khutab Al Munifah, 1/ 237.
[10]. Yaitu mengamalkan konsekwensi dari kedustaan tersebut (Al Fath, 4/151).
[11]. Syaikh Abdullah Al Fauzan menjelaskan, yaitu melakukan sesuatu yang merupakan tindakan orang-orang bodoh, seperti berteriak-teriak dan hal-hal yang bodoh lainnya. (Ahaditsu Siyam, hlm. 74).
[12]. HR Al Bukhari, no. 1903, 6057. Ibnu At Thin berkata,”Zhahir hadits menunjukkan, barangsiapa berbuat ghibah tatkala sedang puasa, maka puasanya batal. Demikianlah pendapat sebagian Salaf. Adapun jumhur ulama berpendapat sebaliknya (yaitu puasanya tidak batal). Namun menurut mereka, makna dari hadits ini, bahwasanya ghibah termasuk dosa besar, dan dosanya tidak bisa sebanding dengan pahala puasanya. Maka seakan-akan dia seperti orang yang batal puasanya.” (Al Fath, 10/582). Lihat Kaukabah Al Khutab Al Munifah, 1/ 229.
[13]. Wadzaif Ramadhan, hlm. 12.
[14]. Ibnu Katsir menjelaskan, di antara bentuk-bentuk meninggalkan (tidak mengacuhkan) Al Qur`an ialah tidak mengamalkan perintah-perintah yang terdapat di dalam Al Qur`an, tidak menjauhi larangan-larangan yang terdapat di dalam Al Qur`an, berpaling dari (kebiasaan membaca) Al Qur`an dan menggantikannya dengan membaca syair-syair atau perkataan-perkataan atau lagu atau perkara sia-sia, yang tidak berlandaskan Al Qur`an. (Tafsir Ibnu Katsir pada surat Al Furqan ayat 30).
[15]. Wadzaif Ramadhan, hlm 42. Sebagian Salaf berkata,”Al Qur`an diturunkan untuk dipraktekan (dalam kehidupan). Namun manusia menjadikan membaca Al Qur`an itulah bentuk mengamalkannya.”
[16]. Wadzaif Ramadhan, hlm. 43.
[17]. Berdasarkan perkataan Syaikh Abdullah Al Fauzan dalam kitabnya, Ahaditsus Siyam, hlm. 46-48.
[18]. HR Ahmad (3/93) dan Abu Dawud. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah (4/134) dan beliau berkata: “Isnadnya shahih sesuai dengan persyaratan (kriteria) Bukhari dan Muslim”.
[19]. Diriwayatkan oleh At Tirmidzi dalam Shifatul Qiyamah, bab Al Kaisu Lak Dana Nafsahau.... Setelah menyebutkan hadits “Al kaisu….dst”, beliau berkata: “Dan diriwayatkan oleh Umar bin Al Khaththab, ia berkata,’Hisablah….’.” Atsar ini juga disebutkan oleh Imam Ahmad dalam kitab Zuhud-nya. Demikian juga Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin (1/319).
[20]. Hilyatul Auliya` (2/157).
[21]. Madarijus Salikin (1/321).
[22]. Madarijus Salikin (1/ 321-324).
[23]. HR At Tirmidzi, no 2505, dan beliau berkata: “Ini adalah hadits hasan gharib”. Al Mubarakfuri berkata,”Hadits ini munqati’. Meski demikian, At Tirmidzi menghasankannya. Kemungkinan karena ada jalan yang lain atau ada syahid bagi hadits ini, maka inqita’ (sanadnya yang terputus) tidak mempengaruhinya.”(Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 7/251). Namun Syaikh Al Albani menghukumi, hadits ini adalah hadits maudhu’ (palsu) dalam Dha’if Sunan At Tirmidzi, no. 449 dan dalam Dha’iful Jami’, no. 5710.
[24]. Sebagaimana penafsiran ini dibawakan juga oleh At Tirmidzi setelah meriwayatkan hadits ini.
[25]. HR At Tirmidzi, no 2506, dan ia berkata: “Ini adalah hadits hasan gharib”, dan didhaifkan oleh Syaikh Al Albani dalam Dha’if Sunan At Tirmidzi, no 450.
[26]. HR Al Bukhari, 2152.
[27]. HR Al Bukhari, 6617, 6628.
[28]. HR Ibnu Majah, no 99; Ahmad 4/182; dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah.
[29]. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan At Tirmidzi, 1739.
[30]. HR Muslim, no. 2654.
[31]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, surat Al Maidah ayat 27.
[32]. Atsar-atsar tersebut disampaikan oleh Ibnu Rajab dalam Wazdaif Ramadhan, hlm. 73, kecuali atsar Abu Darda’.
[33]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, surat Al Baqarah ayat 127.
[34]. HR Muslim 591 dan Abu Dawud, 1512.
[35]. Hadits ini tersusun dari dua hadits. Yang pertama diriwayatkan oleh An Nasa-i di dalam ‘Amalul Yaum Wallailah, hlm. 173 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’, no 2059. Adapun hadits yang kedua diriwayatkan oleh At Tirmidzi, no 55 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani.
[36]. Madarijus Salikin, 1/327-330.
[37]. Dari kumpulan khutbah Jum’at beliau, Kaukabah Al Khutab Al Munifah (1/ 235).
http://almanhaj.or.id/content/4168/slash/0/renungan-di-bulan-ramadhan/
Oleh
Ustadz Firanda Ibnu Abidin As-Soronji
Merupakan nikmat yang besar kepada para hambaNya, yaitu Allah menjadikan waktu-waktu spesial yang penuh dengan berkah, agar para hambaNya memanfaatkan kesempatan emas tersebut dan berlomba-lomba meraih berkah sebanyak-banyaknya.
Berjumpa dengan bulan Ramadhan merupakan kenikmatan yang sangat besar. Maka selayaknya seorang muslim benar-benar merasakan dan menjiwai nikmat tersebut. Betapa banyak orang yang terhalang dari nikmat ini, baik karena ajal telah menjemput, atau karena ketidakmampuan beribadah sebagaimana mestinya, karena sakit atau yang lainnya, ataupun karena mereka sesat dan masa bodoh terhadap bulan yang mulia ini. Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim bersyukur kepada Allah atas karuniaNya ini. Berdoa kepadaNya agar dianugerahi kesungguhan serta semangat dalam mengisi bulan mulia ini, yaitu dengan ibadah dan dzikir kepadaNya.
Yang menyedihkan, banyak orang tidak mengerti kemuliaan bulan suci ini. Tidak menjadikan bulan suci ini sebagai lahan untuk memanen pahala dari Allah dengan memperbanyak beribadah, bersedekah dan membaca Al Qur`an. Namun bulan yang agung ini, mereka jadikan musim menyediakan dan menyantap aneka ragam makanan dan minuman, menyibukkan kaum ibu terus berkutat dengan dapur. Sebagian yang lain ada yang memanfaatkan bulan mulia ini hanya dengan bergadang dan ngobrol hingga pagi, kemudian pada siang harinya dipenuhi dengan mimpi-mimpi. Bahkan ada yang terlambat untuk shalat berjamaah di masjid. Ataupun tatkala shalat di masjid, ia berangan-angan agar sang imam segera salam. Sebagian yang lain ada yang mengenal bulan suci ini sebagai musim untuk mengeruk duit sebanyak-banyaknya. Lowongan-lowongan pekerjaan ditelusurinya sebagai upaya memperoleh kesempatan mengeruk dunia [1]. Sebagian yang lain sangat giat berjual beli, stand bye di pasar dan meninggalkan masjid. Kalaupun shalat di masjid, mereka shalat dalam keadaan terburu-buru. Wallahul musta’an…[2]
.
Barangsiapa yang mengetahui keagungan bulan suci ini, maka dia akan benar-benar rindu untuk bertemu dengannya. Para salaf sangat merasakan keagungan bulan suci ini, sehingga kehadirannya selalu dinanti-nanti oleh mereka. Bahkan jauh sebelumnya, mereka telah mempersiapkan perjumpaan itu.
Mu’alla bin Al Fadhl berkata,”Mereka (para salaf) berdoa kepada Allah selama enam bulan agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan … .”[3]
Pujilah Allah dan bersyukurlah kepadaNya karena telah mempertemukan kita dengan bulan Ramadhan dalam keadaan tentram dan damai. Renungkanlah, bagaimanakah keadaan saudara-saudara kita di Palestina, Checnya, Afghanistan, Iraq dan negeri-negeri yang lainnya? Bagaimanakah keadaan mereka dalam menyambut bulan suci ini? Musibah demi musibah, derita demi derita menimpa mereka. Dengan derita dan tangisanlah mereka menyambut bulan suci ini.
Dengan beraneka ragam makanan kita berbuka puasa. Lantas, dengan apakah saudara-saudara kita di Somalia berbuka puasa? Mereka terus menghadapi bencana busung lapar.[4]
RAMADHAN ADALAH KESEMPATAN EMAS UNTUK MENJADI ORANG YANG BERTAKWA
Allah berfirman :
يَأيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian untuk berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa. [Al Baqarah : 183]
.
Syaikh Utsaimin rahimahullah berkata,”لَعَلَّ adalah untuk ta`lil (menjelaskan sebab). Hal ini menjelaskan hikmah (tujuan) diwajibkannya puasa. Yaitu, agar kalian (menjadi orang-orang yang) bertakwa kepada Allah. Inilah hikmah (yang utama) dari ibadah puasa. Adapun hikmah-hikmah puasa yang lainnya, seperti kemaslahatan jasmani atau kemaslahatan sosial, maka hanyalah mengikutinya (bukan hikmah yang utama, Pen).” [5]
Betapa banyak manusia pada zaman ini, jika dikatakan kepada mereka “bertakwalah engkau kepada Allah”, maka merah padamlah wajahnya karena marah dan tertipu dengan dirinya sendiri. Dia menganggap dirinya telah bertakwa kepada Allah, sehingga merasa tersinggung jika dikatakan padanya untuk bertakwa kepada Allah.
Ibnu Mas’ud berkata, ”Cukuplah sesorang itu berdosa jika dikatakan kepadanya “bertakwalah kepada Allah”, lantas ia berkata ‘Urus dirimu sendiri, orang seperti kamu mau menasihatiku?’ .”
Pada suatu hari Khalifah Harun Ar Rasyid keluar naik kendaraan untanya yang mewah dan penuh hiasan, lalu seorang Yahudi berkata kepadanya: “Wahai, Amirul Mukminin. Bertakwalah engkau kepada Allah,” maka beliaupun turun dari kendaraannya dan sujud kepada Allah di atas tanah dengan penuh tawadhu` dan khusyu. Khalifah kemudian memerintahkan agar kebutuhan orang Yahudi tersebut dipenuhi.
Tatkala ditanyakan mengapa Khalifah memerintahkan demikian, beliau menjawab: “Tatkala saya mendengar perkataan orang Yahudi tersebut, saya teringat firman Allah
وَإِذَا قِيْلَ لَهُ اتَّقِ اللهَ أَخَذَتْهٌ الْعِزَّةُ بِالإِثْمِ فَحَسْبُهُ جَهَنَّمُ وَلَبِئْسَ الْمِهَادُ
(Dan apabila dikatakan kepadanya: “Bertakwalah kepada Allah”, bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. Dan sesungguhnya Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya”. -Al Baqarah ayat 206-), maka saya khawatir, saya adalah orang yang disebut Allah tersebut”.[6]
Oleh karena itu, puasa merupakan kesempatan emas untuk melatih diri kita untuk bertakwa kepada Allah.
Sebagian Salaf menyatakan, puasa yang paling ringan adalah meninggalkan makan dan minum. Jabir berkata,”Jika engkau berpuasa, maka hendaknya pendengaranmu, penglihatanmu, lisanmu juga ikut berpuasa… Dan tatkala berpuasa, janganlah engkau menjadikan keadaanmu seperti keadaanmu tatkala tidak berpuasa.” [7] Abul ‘Aliah mengatakan, orang yang berpuasa senantiasa berada dalam ibadah, walaupun dia dalam keadaan tidur di atas tempat tidurnya, (yakni) selama tidak ghibah (menggunjing) orang lain.[8]
Syaikh As Sudais berkata,”Dan apakah mereka telah merealisasikan dan menerapkan apa yang menjadi tujuan disyariatkannya puasa (yaitu untuk bertakwa kepada Allah)? Ataukah masih banyak di antara mereka yang tidak mengetahui hikmah disyari’atkannya puasa dan melupakan buah manis dari ketakwaan serta jalan-jalan ketakwaan yang bercahaya, sehingga mencukupkan puasa hanya dengan menahan diri dari makanan dan minuman serta pembatal-pembatal puasa yang zhahir?” [9]
Beliau juga berkata,”Sebagian orang tidak mengetahui hakikat puasa. Mereka membatasi makna puasa, yaitu hanya menahan diri dari makan dan minum. Maka engkau lihat sebagian mereka, puasanya tidak bisa mencegah (kejahatan) lisannya, sehingga terjerumus dalam ghibah, namimah dan dusta. Demikian juga, mereka membiarkan telinga dan mata mereka berkeliaran, sehingga terjatuh dalam dosa dan kemaksiatan. Imam Bukhari telah meriwayatkan sebuah hadits dalam Shahih-nya, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِيْ أَيْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya [10] serta berbuat kebodohan [11], maka Allah tidak butuh kepada puasanya dari meninggalkan makan dan minumnya.[12]
Ibnu Rajab berkata,”Barangsiapa yang pada bulan Ramadhan ini tidak beruntung, maka kapan lagi dia bisa beruntung? Barangsiapa yang pada bulan suci ini tidak bisa mendekatkan dirinya kepada Allah, maka sungguh dia sangat merugi.” [13]
Jadilah kita seperti kupu-kupu yang menyenangkan dan indah jika dipandang, serta bermanfaat bagi perkawinan di antara tanaman, padahal sebelumnya adalah seekor ulat yang merusak dedaunan dan merupakan hama tanaman. Namun setelah berpuasa beberapa saat dalam kepompongnya, berubahlah ulat tersebut menjadi kupu-kupu yang indah.
PUASA MERUPAKAN KESEMPATAN UNTUK MEMBIASAKAN DIRI MENTADABBUR AL QUR`AN
Betapa banyak orang yang telah berpaling dari Al Qur`an dan meninggalkan membaca Al Qur`an. Atau tatkala membacanya, tanpa disertai dengan mentadabburi (perenungan) kandungan maknanya. Sehingga pada sebagian orang, Al Qur`an menjadi sesuatu yang terlupakan [14].
Ibnu Rajab berkata,”Allah mencela orang-orang yang membaca Al Qur`an tanpa memahami (mentadaburi) maknanya. Allah berfirman وَمِنْهُمْ أُمِّيُّوْنَ لاَيَعْلَمُوْنَ الْكِتَابَ إِلاَّ أَمَانِيَّ (Dan di antara mereka ada yang buta huruf tidak mengetahui Al Kitab (At Taurat), kecuali hanya dongengan belaka.” –Al Baqarah ayat 78-). Yaitu dalam membacanya tanpa memahami maknanya. Tujuan diturunkannya Al Qur`an adalah untuk difahami maknanya dan untuk diamalkan, bukan hanya sekedar untuk dibaca.” [15]
Tatkala tiba bulan Ramadhan Az Zuhri berkata: “Ramadhan itu adalah membaca Al Qur`an dan memberi makan (fakir miskin)”.
Ibnu Abdilhakim berkata,”Jika tiba bulan Ramadhan, Imam Malik menghindar dari membacakan hadits dan bertukar pikiran dengan ahli ilmu. Beliau berkonsentrasi membaca Al Qur`an dari mushaf”.
Abdurrazak berkata,”Jika masuk bulan Ramadhan, Ats Tsauri meninggalkan seluruh ibadah dan memfokuskan pada membaca Al Qur`an.”
Ibnu Rajab berkata,”Pada bulan Ramadhan, para salaf berkonsentrasi membaca Al Qur`an. Di antara mereka ada yang mengkhatamkan Al Qur`an setiap minggu, ada yang setiap tiga hari, ada juga yang menamatkan dalam waktu dua malam. Bahkan ada di antara mereka pada saat sepuluh malam yang terakhir, menamatkan Al Qur`an setiap malam.
Adapun hadits yang menjelaskan larangan mengkhatamkan Al Qur`an kurang dari tiga hari, maka maksudnya, jika dilaksanakan terus-menerus. Adapun menamatkan Al Qur`an pada waktu-waktu (tertentu) yang mulia, seperti pada bulan Ramadhan, khususnya pada malam-malam yang diharapkan, yaitu Lailatul Qadar, juga di tempat-tempat yang mulia; maka yang demikian itu disunnahkan agar memperbanyak membaca Al Qur`an untuk memanfaatkan kesempatan berada di tempat dan waktu yang mulia. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan yang lainnya, dan merupakan hal yang diamalkan oleh selain mereka.” [16]
Di antara adab-adab tatkala membaca Al Qur`an.[17]
1. Hendaknya membaca dengan tartil, memperhatikan hukum-hukum tajwid disertai dengan mentadabburi ayat-ayat yang dibacanya. Jika ayat yang dibaca berkaitan dengan kekurangan atau kesalahannya, maka hendaknya dia beristighfar. Jika melewati ayat-ayat yang berkaitan dengan rahmat Allah, maka hendaknya dia meminta kepada Allah rahmat Allah tersebut. Jika melewati ayat-ayat tentang adzab, maka hendaknya dia takut dan berlindung kepada Allah dari adzab tersebut. Oleh karena itu, jika membaca Al Qur`an dengan cepat dan kurang memperhatikan hukum-hukum tajwid, maka sulit untuk mempraktekan tadabbur Al Qur`an. Bahkan membaca Al Qur`an dengan cepat tanpa aturan, terkadang hukumnya bisa menjadi haram, jika sampai menimbulkan perubahan huruf-huruf (tidak keluar sesuai dengan makhrajnya), karena menyebabkan terjadinya perubahan atas Al Qur`an. Adapun jika membaca dengan cepat, namun tetap memperhatikan hukum-hukum tajwid, maka tidak mengapa, karena sebagian orang mudah bagi lisannya membaca Al Qur`an (dan sebagian orang bisa mentadabburi Al Qur`an walaupun dibaca dengan cepat).
2. Hendaknya tidak memotong pembacaan Al Qur`an hanya karena ingin ngobrol dengan teman duduk di sampingnya. Sebagian orang, jika sedang membaca Al Qur`an kemudian di sampingnya ada seorang sahabatnya, maka diapun sering memotong bacaannya untuk ngobrol dengan temannya tersebut. Perbuatan seperti ini semestinya tidak dilakukan, karena termasuk dalam kategori berpaling dari Al Qur`an tanpa adanya kebutuhan.
3. Tidak membaca Al Qur`an dengan suara keras sehingga mengganggu orang yang berada di sekitarnya yang sedang membaca Al Qur`an juga, atau sedang shalat, atau sedang tidur. Nabi telah melarang perihal ini.
Dari Abu Sa’id Al Khudri, beliau berkata: “Nabi i’tikaf di masjid, lalu beliau mendengar orang-orang membaca Al Qur`an dengan suara yang keras, dan Nabi sedang berada di dalam tenda i’tikafnya. Beliaupun membuka sitar (kain penutup) tendanya, kemudian berkata: “Kalian semuanya sedang bermunajat dengan Rabb-nya, maka janganlah sebagian kalian mengganggu sebagian yang lain. Janganlah sebagian kalian mengangkat suaranya tatkala membaca Al Qur`an” atau Beliau berkata: “Tatkala (membaca Al Qur`an) dalam shalat”. [18]
RAMADHAN ADALAH KESEMPATAN UNTUK INSTROPEKSI DIRI
Umar Al Faruq berkata :
حَاسِبُوا أنْفُسَكُم قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُا وَزِنُوْهَا قَبْلَ أَنْ تُوْزَنُوْا وَ تَزَيَّنُوا لِلعَرْضِ الأَكْبَر
Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang. Dan berhiaslah (beramal shalihlah) untuk persiapan hari ditampakkannya amalan hamba.[19]
Allah berfirman يَوْمَئِذٍ لاَ تَخْفَى مِنْكُمْ خَافِيَةٌ (Pada hari itu kalian dihadapkan (kepada Rabb kalian), tiada sesuatupun dari keadaan kalian yang tersembunyi (bagi Allah) -Al Haqqah : 18-).
Benarlah yang diucapkan oleh Al Faruq, sesungguhnya muhasabah diri di dunia ini, jauh lebih ringan daripada hisab Allah pada hari akhir nanti, (yaitu) tatkala rambut anak-anak menjadi putih. Yang menghisab adalah Allah.
Dan yang menjadi bukti otentik adalah kitab yang sifatnya : ... tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya?; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Rabb-mu tidak menganiaya seorang juapun. [Al Kahfi : 49].
Al Hasan berkata,”Seorang mukmin adalah pengendali dirinya. (Hendaknya) dia menghisab dirinya karena Allah. Yang menyebabkan suatu kaum hisabnya ringan di akhirat kelak ialah, karena mereka telah menghisab jiwa mereka di dunia. Dan yang menyebabkan beratnya hisab pada suatu kaum pada hari kiamat kelak ialah, karena mereka mengambil perkara ini tanpa bermuhasabah (di dunia).”[20]
Hakikat muhasabah ialah, menghitung dan membandingkan antara kebaikan dan keburukan. Sehingga, dengan perbandingan ini diketahui mana dari keduanya yang terbanyak.[21]
Ibnul Qayyim menjelaskan,”Namun, muhasabah ini akan terasa sulit bagi orang yang tidak memiliki tiga perkara, yaitu cahaya hikmah, berprasangka buruk kepada diri sendiri dan (kemampuan) membedakan antara nikmat dan fitnah (istidraj).”
Pertama : Cahaya hikmah, yaitu ilmu; yang dengannya seorang hamba bisa membedakan antara kebenaran dan kebatilan, petunjuk dan kesesatan, manfaat dan mudharat, yang sempurna dan yang kurang, kebaikan dan keburukan. Dengan demikian, ia bisa mengetahui tingkatan amalan yang ringan dan yang berat, yang diterima dan yang ditolak. Semakin terang cahaya hikmah ini pada seseorang, maka ia akan semakin tepat dalam perhitungannya (muhasabah).
Kedua : Adapun berprasangka buruk kepada diri sendiri sangat dibutuhkan (dalam muhasabah). Karena berbaik sangka kepada jiwa, dapat menghambat kepada sempurnanya pemeriksaan jiwa; sehingga bisa jadi, ia akan memandang kejelekan-kejelekannya menjadi kebaikan, dan (sebaliknya) memandang aibnya sebagai suatu kesempurnaan. Dan tidaklah berprasangka buruk kepada dirinya, kecuali orang yang mengenal dirinya. Barangsiapa yang berbaik sangka kepada jiwanya, maka ia adalah orang yang paling bodoh tentang dirinya sendiri.
Ketiga : Adapun (kemampuan) membedakan antara nikmat dan fitnah, yaitu untuk membedakan antara kenikmatan yang Allah anugerahkan kepadanya -berupa kebaikanNya dan kasih-sayangNya, yang dengannya ia bisa meraih kebahagiaan abadi- dengan kenikmatan yang merupakan istidraj dari Allah. Betapa banyak orang yang terfitnah dengan diberi kenikmatan (dibiarkan tenggelam dalam kenikmatan, sehingga semakin jauh tersesat dari jalan Allah, Pen), sedangkan ia tidak menyadari hal itu.
Mereka terfitnah dengan pujian orang-orang bodoh, tertipu dengan kebutuhannya yang selalu terpenuhi dan aibnya yang selalu ditutup oleh Allah. Kebanyakan manusia menjadikan tiga perkara (pujian manusia, terpenuhinya kebutuhan, dan aib yang selalu tertutup) ini sebagai tanda kebahagiaan dan keberhasilan. Sampai disitulah rupanya ilmu mereka ......
Ibnul Qayyim melanjutkan : .... semua kekuatan, baik yang nampak maupun yang batin, jika diiringi dengan pelaksanaan perintah Allah dan apa yang diridhai Allah, maka hal itu sebagai karunia Allah. Jika tidak demikian, maka kekuatan tersebut merupakan bencana.
Setiap keadaan yang dimanfaatkan untuk menolong agama Allah dan berdakwah di jalanNya, maka hal itu merupakan karunia Allah. Jika tidak, maka hanyalah merupakan bencana.
Setiap harta yang disertai dengan berinfaq di jalan Allah, bukan untuk mengharapkan ganjaran dan terima kasih dari manusia, maka ia merupakan karunia Allah. Jika tidak demikian, maka harta itu hanyalah bumerang baginya ....
Dan setiap sikap manusia yang menerima dirinya dan pengagunggan serta kecintaan mereka padanya, jika disertai dengan rasa tunduk, rendah dan hina di hadapan Allah, demikian juga disertai pengenalannya terhadap aib dirinya dan kekurangan amalannya, dan usahanya menasihati manusia, maka hal ini adalah karunia Allah. Jika tidak demikian, maka hanyalah bencana.
Oleh karena itu, hendaknya seorang hamba mengamati point yang sangat penting dan berbahaya ini, agar bisa membedakan antara karunia dan bencana, anugerah dan bumerang baginya, karena betapa banyak ahli ibadah dan berakhlak mulia yang salah paham dan rancu dalam memahami pembahasan ini.[22]
Ketahuilah, termasuk kesempurnaan muhasabah, yaitu engkau mengetahui, bahwa setiap celaanmu kepada saudaramu yang berbuat maksiat atau aib, maka akan kembali kepadamu.
Diriwayatkan dari Rasulullah bahwa beliau bersabda :
مَنْ عَيَّرَ أَخَاهُ بِذَنْبٍ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَعْمَلَهُ
Barangsiapa yang mencela saudaranya karena dosanya (kemaksiatannya), maka dia tidak akan mati hingga dia melakukan kemaksiatan tersebut. [23]
Dalam menafsirkan hadits ini, Imam Ahmad berkata : “Yaitu (mencelanya karena) dosa (maksiat), yang ia telah bertaubat darinya”. [24]
Ibnul Qayyim berkata: Dan juga pada celaan yang dibarengi rasa gembira si pencela dengan jatuhnya orang yang dicela dalam kesalahan. Imam At Tirmidzi meriwayatkan juga -secara marfu’- bahwasanya Rasulullah bersabda,’Janganlah engkau menampakkan kegembiraan atas bencana yang menimpa saudaramu, sehingga Allah merahmati saudaramu dan mendatangkan bencana bagimu’.”[25]
Dan mungkin juga, maksud Nabi bahwa dosa celaanmu terhadap saudaramu lebih besar dari dosa saudaramu itu dan lebih parah dari maksiat yang dilakukannya itu. Karena celaanmu itu menunjukan tazkyiatun nafs (memuji diri sendiri) dan mengklaim, bahwa engkau selalu di atas ketaatan dan telah berlepas diri dari dosa, dan saudaramulah yang membawa dosa tersebut.
Maka bisa jadi, penyesalan saudaramu karena dosanya tersebut dan akibat yang timbul setelah itu, berupa rasa tunduk dan rendah serta penghinaan terhadap jiwanya, dan terlepasnya dia dari penyakit pengakuan sucinya diri, rasa sombong dan ujub, serta berdirinya dia di hadapan Allah dalam keadaan menunduk dengan hati yang pasrah, lebih bermanfaat baginya dan lebih baik dibandingkan dengan pengakuanmu bahwa engkau selalu berada di atas ketaatan kepada Allah dan engkau menganggap diri banyak melakukan ketaatan kepada Allah. Bahkan engkau merasa telah memberi sumbangsih kepada Allah dan kepada makhluk-makhlukNya dengan ketaatanmu tersebut. Sungguh saudaramu -yang telah melakukan kemaksiatan- (lebih) dekat kepada rahmat Allah. Dan betapa jauh orang yang ‘ujub dan merasa memberi sumbangsih dengan amal ketaatannya karena kemurkaan Allah.
Dosa yang mengantarkan pelakunya merasa hina di hadapan Allah lebih disukai Allah, daripada amal ketaatan yang mengantarkan pelakunya merasa ‘ujub. Sesungguhnya jika engkau tertidur pada malam hari (tidak melaksanakan shalat malam), kemudian pada pagi hari engkau menyesal, lebih baik dari pada jika engkau shalat malam kemudian pada pagi hari engkau merasa ‘ujub kepada diri sendiri, karena sesungguhnya orang yang ‘ujub, amalnya tidak naik kepada Allah. Engkau tertawa, sembari mengakui (kesalahan dan kekuranganmu itu) lebih baik dari pada engkau menangis, namun engkau merasa ‘ujub.
Rintihan orang yang berdosa lebih disukai di sisi Allah dibanding suara dzikir orang yang bertasbih namun ‘ujub. Bisa jadi, dengan sebab dosa yang dilakukan oleh saudaramu, Allah memberikan obat kepadanya dan mencabut penyakit yang membunuh dirinya, padahal penyakit itu ada pada dirimu dan engkau tidak merasakannya.
Allah memiliki rahasia dan hikmah atas hamba-hambanya yang taat dan yang bermaksiat, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia. Para ulama dan orang-orang bijak tidak mengerti rahasia itu, kecuali hanya sekedar yang bisa diperkirakan dan ditangkap oleh panca indra manusia. Namun di balik itu, ada rahasia Allah yang tidak diketahui, bahkan oleh para malaikat pencatat amal.
Rasulullah telah bersabda :
إِذَا زَنَتْ أَمَةُ أَحَدِكُمْ فَلْيُقِمْ عَلَيْهَا الْحَدُّ وَلاَ يُثَرِّبْ
(Jika budak wanita milik salah seorang dari kalian berzina, maka tegakkanlah hukuman had baginya dan janganlah mencelanya)[26] karena sesungguhnya, penilaian adalah di sisi Allah dan hukum adalah milikNya. Dan tujuannya ialah menegakkan hukuman had pada budak wanita tersebut, bukan mencelanya.
Allah telah berkata tentang makhluk yang paling mengetahuiNya dan yang paling dekat denganNya (yaitu Rasulullah): “Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya engkau hampir-hampir condong sedikit kepada mereka (orang-orang kafir)”. (Al Isra` : 74). Nabi Yusuf telah berkata,”... Dan jika tidak Engkau hindarkan tipu daya mereka dariku, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” [Yusuf : 33].
Nabi paling sering bersumpah dengan berkata لاَ وَمُقَلِّبِ الْقُلُوْبِ (demi Dzat yang membolak-balikan hati manusia) [27]. Beliau bersabda,”Tidak satu hati manusia pun, melainkan ia berada di antara dua jari dari jari-jemari Allah. Jika Allah kehendaki, (maka) Allah akan memberi petunjuk kepadanya. Dan jika Allah kehendaki, maka Allah akan menyesatkannya,” [28] kemudian Beliau berdoa :
اللَّهُمَّ مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى دِيْنِكَ
Wahai Dzat yang membolak-balikan hati manusia, tetapkanlah hati kami di atas jalanMu. [29]
اللَّهُمَّ مُصَّرِّفَ الْقُلُوْبِ صَرِّفْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ
Wahai Dzat yang memaling-malingkan hati manusia, palingkanlah hati kami untuk taat kepadaMu.[30]
BERDOA KEPADA ALLAH AGAR IBADAH PUASA KITA DITERIMA
Ibnu Rajab berkata,”Para salaf, mereka berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menyempurnakan dan memperbaiki amalan mereka. Kemudian, setelah itu mereka sangat memperhatikan agar amalan mereka diterima; mereka takut jika amalannya tidak diterima. Mereka itulah orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut. (Al Mukminun : 60).
Diriwayatkan dari Ali, ia berkata: “Hendaklah kalian lebih memperhatikan agar amal kalian diterima (setelah beramal), dari pada perhatian kalian terhadap amalan kalian (tatkala sedang beramal). Apakah kalian tidak mendengar firman Allah إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللهُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ (Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa -Al Maidah : 27).
Dari Fadhalah dia berkata: “Saya mengetahui, bahwa Allah menerima amalan saya walaupun sekecil biji sawi lebih saya sukai, daripada dunia dan seisinya, karena Allah berfirman : Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa. (Al Maidah : 27)”.
Abu Darda berkata,”Saya mengetahui, bahwa Allah telah menerima dariku satu shalat saja lebih aku sukai dari pada bumi dan seluruh isinya, karena Allah berfirman : Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa. (Al Maidah : 27)”.[31]
Malik bin Dinar berkata,”Perasaan takut jikalau amalan tidak diterima, lebih berat daripada beramal.”
‘Atha` As Sulami berkata,”Waspadalah, jangan sampai amalanmu bukan karena Allah.”
Abdulaziz bin Abi Ruwwad berkata,”Aku mendapati mereka (para salaf) sangat bersungguh-sungguh tatkala beramal shalih. Namun jika mereka telah selesai beramal, mereka ditimpa kesedihan dan kekhawatiran apakah amalan mereka diterima atau tidak?”
Oleh karena itu, para salaf setelah enam bulan berdoa agar dipertemukan oleh Allah dengan Ramadhan. Mereka juga berdoa setelah Ramadhan selama enam bulan agar amalan mereka diterima.
Wuhaib bin Al Ward tatkala membaca firman Allah
وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيْمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَ إِسْمَاعِيْلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
(Dan tatkala Ibrahim meninggikan (membina) pondasi Baitullah bersama Isma’il (seraya berdoa): ”Wahai Rabb kami, terimalah dari kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahu -Al Baqarah ayat 127-, maka beliau (Wuhaib bin Al Ward)pun menangis, seraya berkata: “Wahai kekasih Ar Rahman. Engkau meninggikan rumah Ar Rahman, lalu engkau takut amalanmu itu tidak diterima oleh Ar Rahman”. [33]
Ibnul Qayyim menyatakan, perasaan puas (ridha)nya seseorang terhadap amal ketaatan yang telah ia kerjakan, merupakan indikasi bahwasanya ia tidak mengetahui terhadap keadaan dirinya. Dia tidak mengetahui hak-hak Alllah dan bagaimana semestinya beribadah kepada Allah. Ketidaktahuan terhadap kekurangan dirinya serta aib-aib yang terdapat dalam amal ketaatannya, dan ketidaktahuannya terhadap kebesaran Allah dan hak-hakNya, menjadikan dia berprasangka baik terhadap jiwanya yang penuh dengan kekurangan, sehingga akhirnya ia puas dengan amal ketaatannya. Hal ini juga menimbulkan rasa ‘ujub (takjub) dengan dirinya sendiri yang telah melaksanakan amal ketaatan, serta menimbulkan perasaan sombong dan penyakit-penyakit hati lainnya, yang (tentunya) lebih berbahaya dari pada dosa-dosa besar yang nampak, seperti zina, meminum minuman keras, dan lari dari medan pertempuran. Jika demikian, merasa puas terhadap amal ketaatan, merupakan kepandiran dan ketololan jiwa.
Jika kita perhatikan, ternyata orang-orang yang bertakwa dan ahli ibadah, mereka sangat memohon ampunan Allah, justru tatkala mereka telah selesai dari berbuat amal ketaatan. Hal ini, karena mereka mengakui kekurangan, tatkala mereka beramal. Dan mereka mengakui, bahwa amal ketaatan mereka tidak sesuai dengan kebesaran dan keagungan Allah. Seandainya bukan karena perintah Allah untuk beramal, maka mereka akan malu menghadap Allah dengan ibadah mereka yang penuh kekurangan; dan mereka tidak ridha menyerahkan ibadah yang penuh kekurangan tersebut kepada Allah. Namun mereka tetap beribadah menjalankan perintah Allah, walaupun penuh kekurangan.
Allah telah memerintahkan para jama’ah haji (pengunjung rumah Allah) untuk beristigfar setelah selesai dari manasik haji yang paling agung dan mulia, yaitu wukuf di Arafah. Allah berfirman, yang artinya : Maka apabila kalian telah beranjak dari Arafah berdzikirlah kepada Allah di Masy’aril Haram. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukanNya kepada kalian, dan sesungguhnya kalian sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian beranjaklah kalian dari tempat bertolak orang-orang banyak (yaitu Arafah), dan mohon ampunlah kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al Baqarah : 198-199).
Allah juga berfirman وَالْمُسْتَغْفِرِيْنََ بِالأَسْحَارِ (Dan yang memohon ampun pada waktu sahur. -Ali Imran ayat 17-). Berkata Hasan Al Bashri: “Mereka memanjangkan shalat malam hingga tiba waktu sahur (menjelang terbit fajar), lalu mereka duduk dan beristighfar kepada Allah”. Dan dalam hadits yang shahih disebutkan, jika Nabi telah salam dari shalat, Beliau n beristighfar tiga kali.[34]
Allah memerintah Nabi untuk beristighfar setelah selesai menyampaikan risalah kenabiannya -dan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menunaikannya dengan baik-, demikian juga setelah menyelesaikan ibadah haji serta menjelang wafat Beliau. Maka Allah berfirman di dalam surat yang turun terakhir kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu melihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Rabb-mu dan mohonlah ampun kepadaNya. Sesungguhnya Dia adalah Maha menerima taubat”. [An Nashr ayat 1-3].
Dengan turunnya surat ini, maka Umar dan Ibnu Abbas mengetahui, bahwa ini merupakan pemberitahuan Allah kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , sebagai tanda telah dekatnya ajal Rasulullah. Maka Allah memerintahkan Beliau untuk beristighfar setelah menunaikan tugas mengemban risalah Allah. Hal ini seakan-akan sebagai pemberitahuan, bahwa engkau (wahai Rasulullah) telah menunaikan kewajibanmu dan tidak ada lagi tugas yang lain, maka jadikanlah penutupnya adalah istighfar. Sebagaimana juga penutup shalat, haji, shalat malam. Juga setelah wudhu, Beliau berkata :
سُبْحَانَكَ اللهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ أَللهُمَّ اجْعَلْنِي مِنَ التَّوَّابِيْنَ و اجْعَلْنِي مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ .
Demikianlah keadaan orang-orang yang mengetahui apa yang semestinya bagi Allah dan sesuai dengan keagunganNya, dan mengerti tentang hak-hak ibadah dan persyaratannya.
Berkata sebagian orang bijak: “Kapan saja engkau ridha (merasa puas) dengan dirimu dan amalanmu bagi Allah, (maka) ketahuilah, sesungguhnya Allah tidak ridha dengan amalmu tersebut. Dan barangsiapa yang mengetahui bahwa pada dirinya merupakan tempat kesalahan, aib dan kejelekan, serta mengetahui bahwa amalannya penuh dengan penyakit dan kekurangan, maka bagaimana ia bisa merasa puas dengan amalannya? Bagaimana ia bisa ridha amalan tersebut bagi Allah?”
Sungguh indah perkataan Syaikh Abu Madin: “Barangsiapa yang merealisasikan ibadahnya, maka dia akan memandang amal perbuatannya dengan kacamata riya’. Dia memandang keadaannya dengan pengakuan belaka, dan memandang perkataannya dengan kedustaan belaka. Semakin besar apa yang engkau harapkan di hatimu, maka akan semakin kecil jiwamu di hadapanmu, dan semakin sedikit pula nilai pengorbanan yang telah engkau keluarkan demi meraih harapanmu yang besar. Semakin engkau mengakui hakikat rububiyah Allah dan hakikat ‘ubudiyah, serta semakin engkau mengenal Allah dan mengenal dirimu sendiri, maka akan semakin jelas bagimu, bahwa apa yang ada pada dirimu berupa amal ketaatan, tidaklah pantas untuk diberikan kepada Allah. Walaupun engkau datang dengan membawa amalanmu (yang beratnya seperti amalan seluruh) jin dan manusia, maka engkau akan tetap takut dihukum Allah (karena engkau takut tidak diterima, Pen). Sesungguhnya Allah menerima amalanmu karena kemurahan dan kemuliaan serta karuniaNya kepadamu. Dia memberi pahala dan ganjaran kepadamu, juga karena kemuliaan, kemurahan dan karuniaNya”. [36]
Syaikh Abdurrahman As Sudais berkata,”Ketahuilah saudara-saudaraku, sebagaimana kalian menyambut kedatangan bulan suci ini, kalian juga tidak lama kemudian akan berpisah dengannya. Apakah engkau tahu, wahai hamba Allah, apakah engkau akan bisa bertemu dengan akhir bulan ini? Ataukah engkau tidak akan menemuinya? Demi Allah, kita tidak tahu, sedangkan kita setiap hari menyalatkan puluhan jenazah. Dimanakah mereka yang dulu berpuasa bersama kita? Seorang yang bijak akan menjadikan ini semua untuk bermuhasabah dan meluruskan kepincangan, membuangnya dari jalan ketaatan sebelum ajal menjemputnya dengan tiba-tiba; sehingga saat itu tidak ada bermanfaat, kecuali amal shalih. Ikrarkanlah janji kepada Rabb kalian di tempat yang suci ini; dan pada bulan suci yang penuh barakah ini untuk bertaubat dan penyesalan, serta melepaskan diri dari kekangan kemaksiatan dan dosa. Bersungguh-sungguhlah untuk mendoakan kebaikan bagi diri kalian dan saudara-saudara kalian, kaum muslimin.” [37]
Washallahu ‘ala Nabiyina Muhammadin Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Maraji`:
1. Madarijus Salikin, Ibnul Qayyim, tahqiq Abdulaziz bin Nasir Al Julaiyil, Dar Ath Thaibah.
2. Wazhaif Ramadhan, Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim.
3. Ahaditsu As Siyam, Ahkamuhu Wa Adabuhu, Syaikh Abdullah Al Fauzan.
4. Tafsir Al Qur`an Al Karim, Syaikh ‘Utsaimin, Dar Ibnul Jauzi.
5. Ramadhan Fursah Lit Taghyir, Muhammad bin Abdillah Al Habda.
6. Kaukabah Al Khutab Al Munifah Min Mimbar Al Ka’bah Asy Syarifah, Syaikh Abdurrahman bin Abdulaziz As Sudais.
7. Fathul Bari, Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, Darus Salam, Riyadh.
8. Tuhfatul Ahwadzi, Al Mubarakfuri, Dar Ihya At Turots Al ‘Arabi.
9. Tafsir Ibnu Katsir.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun IX/1426/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Yang menyedihkan, ada di antara mereka yang mengatas namakan dunia yang mereka kejar tersebut dengan nama agama. Ada juga yang berdalih, bahwa apa yang mereka lakukan tersebut hukumnya boleh dan demi membantu orang lain. Ketahuilah saudaraku, carilah amalan yang terbaik dan bisa mendatangkan pahala sebanyak mungkin pada bulan suci ini. Umur kita terbatas. Renungkanlah!
[2]. Disadur dari perkataan Syaikh Abdullah Al Fauzan di dalam kitabnya, Ahaditsus Siyam, hlm. 14-15.
[3]. Wadzaif Ramadhan, hlm. 11. Adakah di antara kita yang senantiasa berdoa untuk berjumpa dengan bulan Ramadhan? Jangankan untuk berdoa selama enam bulan agar berjumpa dengan Ramadhan, bahkan mungkin masih banyak di antara kita yang tidak berdoa selama seminggu agar bersua dengan Ramadhan. Hal ini tidak lain, karena kita kurang mengagungkan nilai Ramadhan sebagaimana para salaf. Atau bahkan mungkin di antara kita ada yang tidak pernah berdoa sama sekali untuk berjumpa dengan Ramadhan?
[4]. Lihat khutbah Syaikh As Sudais dalam Kaukabah Al Khutab Al Munifah, hlm. 230-231.
[5]. Tafsir Al Qur`an Al Karim, tafsir surat Al Baqarah (2/317).
[6]. Lihat risalah Ramadhan Fursah Lit Taghyir, hlm. 13-14.
[7]. Wadzaif Ramadhan, hlm. 21.
[8]. Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam Mushannaf-nya. Ibnu Rajab berkata,”Jika dia meniatkan makan dan minumnya untuk menguatkan tubuh guna melaksanakan shalat malam dan puasa, maka dia akan diberi pahala (oleh Allah) karena niatnya tersebut (makan dan minumnya dinilai ibadah oleh Allah, Pen). Demikian juga, jika dia meniatkan dengan tidurnya pada malam hari ataupun siang hari agar kuat untuk beramal (shalih), maka tidurnya itu termasuk ibadah.” (Wadzaif Ramadhan, hlm. 24).
[9]. Kaukabah Al Khutab Al Munifah, 1/ 237.
[10]. Yaitu mengamalkan konsekwensi dari kedustaan tersebut (Al Fath, 4/151).
[11]. Syaikh Abdullah Al Fauzan menjelaskan, yaitu melakukan sesuatu yang merupakan tindakan orang-orang bodoh, seperti berteriak-teriak dan hal-hal yang bodoh lainnya. (Ahaditsu Siyam, hlm. 74).
[12]. HR Al Bukhari, no. 1903, 6057. Ibnu At Thin berkata,”Zhahir hadits menunjukkan, barangsiapa berbuat ghibah tatkala sedang puasa, maka puasanya batal. Demikianlah pendapat sebagian Salaf. Adapun jumhur ulama berpendapat sebaliknya (yaitu puasanya tidak batal). Namun menurut mereka, makna dari hadits ini, bahwasanya ghibah termasuk dosa besar, dan dosanya tidak bisa sebanding dengan pahala puasanya. Maka seakan-akan dia seperti orang yang batal puasanya.” (Al Fath, 10/582). Lihat Kaukabah Al Khutab Al Munifah, 1/ 229.
[13]. Wadzaif Ramadhan, hlm. 12.
[14]. Ibnu Katsir menjelaskan, di antara bentuk-bentuk meninggalkan (tidak mengacuhkan) Al Qur`an ialah tidak mengamalkan perintah-perintah yang terdapat di dalam Al Qur`an, tidak menjauhi larangan-larangan yang terdapat di dalam Al Qur`an, berpaling dari (kebiasaan membaca) Al Qur`an dan menggantikannya dengan membaca syair-syair atau perkataan-perkataan atau lagu atau perkara sia-sia, yang tidak berlandaskan Al Qur`an. (Tafsir Ibnu Katsir pada surat Al Furqan ayat 30).
[15]. Wadzaif Ramadhan, hlm 42. Sebagian Salaf berkata,”Al Qur`an diturunkan untuk dipraktekan (dalam kehidupan). Namun manusia menjadikan membaca Al Qur`an itulah bentuk mengamalkannya.”
[16]. Wadzaif Ramadhan, hlm. 43.
[17]. Berdasarkan perkataan Syaikh Abdullah Al Fauzan dalam kitabnya, Ahaditsus Siyam, hlm. 46-48.
[18]. HR Ahmad (3/93) dan Abu Dawud. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah (4/134) dan beliau berkata: “Isnadnya shahih sesuai dengan persyaratan (kriteria) Bukhari dan Muslim”.
[19]. Diriwayatkan oleh At Tirmidzi dalam Shifatul Qiyamah, bab Al Kaisu Lak Dana Nafsahau.... Setelah menyebutkan hadits “Al kaisu….dst”, beliau berkata: “Dan diriwayatkan oleh Umar bin Al Khaththab, ia berkata,’Hisablah….’.” Atsar ini juga disebutkan oleh Imam Ahmad dalam kitab Zuhud-nya. Demikian juga Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin (1/319).
[20]. Hilyatul Auliya` (2/157).
[21]. Madarijus Salikin (1/321).
[22]. Madarijus Salikin (1/ 321-324).
[23]. HR At Tirmidzi, no 2505, dan beliau berkata: “Ini adalah hadits hasan gharib”. Al Mubarakfuri berkata,”Hadits ini munqati’. Meski demikian, At Tirmidzi menghasankannya. Kemungkinan karena ada jalan yang lain atau ada syahid bagi hadits ini, maka inqita’ (sanadnya yang terputus) tidak mempengaruhinya.”(Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 7/251). Namun Syaikh Al Albani menghukumi, hadits ini adalah hadits maudhu’ (palsu) dalam Dha’if Sunan At Tirmidzi, no. 449 dan dalam Dha’iful Jami’, no. 5710.
[24]. Sebagaimana penafsiran ini dibawakan juga oleh At Tirmidzi setelah meriwayatkan hadits ini.
[25]. HR At Tirmidzi, no 2506, dan ia berkata: “Ini adalah hadits hasan gharib”, dan didhaifkan oleh Syaikh Al Albani dalam Dha’if Sunan At Tirmidzi, no 450.
[26]. HR Al Bukhari, 2152.
[27]. HR Al Bukhari, 6617, 6628.
[28]. HR Ibnu Majah, no 99; Ahmad 4/182; dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah.
[29]. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan At Tirmidzi, 1739.
[30]. HR Muslim, no. 2654.
[31]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, surat Al Maidah ayat 27.
[32]. Atsar-atsar tersebut disampaikan oleh Ibnu Rajab dalam Wazdaif Ramadhan, hlm. 73, kecuali atsar Abu Darda’.
[33]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, surat Al Baqarah ayat 127.
[34]. HR Muslim 591 dan Abu Dawud, 1512.
[35]. Hadits ini tersusun dari dua hadits. Yang pertama diriwayatkan oleh An Nasa-i di dalam ‘Amalul Yaum Wallailah, hlm. 173 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’, no 2059. Adapun hadits yang kedua diriwayatkan oleh At Tirmidzi, no 55 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani.
[36]. Madarijus Salikin, 1/327-330.
[37]. Dari kumpulan khutbah Jum’at beliau, Kaukabah Al Khutab Al Munifah (1/ 235).
Langganan:
Komentar (Atom)